INDOPOS.CO,ID – Komisi Parlindungan Anak Indonesia (KAPI) mengecam tindakan guru di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang mengalami kekerasan seksual akibat tidak ikut dalam salat Dhuha berjemaah.
Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti mengaku menerima pengaduan melalui aplikasi whatsApp dari dua orangtua siswi SMA Negeri di Kabupaten Bogor, karena putrinya mengalami dugaan kekerasan seksual dengan cara dikumpulkan dalam satu ruangan kelas dan ada satu guru bertugas menjaga pintu kelas.
Lalu para siswi diminta berdiri melingkar saling membelakangi, kemudian dua guru lainnya berkeliling dan meminta siswi satu persatu membuka rok dan menurunkan celana dalamnya untuk membuktikan bahwa siswi tersebut sedang menstruasi, sehingga tidak mengikuti salat Dhuha berjamaah yang merupakan program “Jumat Religi”.
Ironisnya, guru terduga pelaku seluruhnya perempuan, para guru tersebut juga bukan guru bidang studi pendidikan agama Islam (PAI), tetapi guru bidang studi Kimia dan Matematika.
“Salat Dhuha dalam agama adalah salat sunnah, bukan salat wajib, namun menjadi wajib atas nama program sekolah di SMA Negeri ini, sekali lagi sekolah ini adalah sekolah negeri yang didirikan pemerintah, bukan satuan Pendidikan berbasis agama. Jika anak didik memang ingin saat Dhuha, sekolah wajib memfasilitasi, bisa dilakukan sendiri, tapi bukan mewajibkan sholat sunnah, sehingga anak didik yang tidak melaksanakan saat Dhuha tersebut akan mendapatkan sanksi”, ujar Retno melalui pesan tertulis kepada indopos.co.id, 8iMinggu (2/10/2022).
“Kuat dugaan, para guru tersebut hanya menjalankan tugas karena merupakan program sekolah. Karena saat ini cukup banyak sekolah negeri yang menyelenggarakan salat Dhuha berjamaah dengan alasan untuk mendidik dan membiasakan anak didik beribadah pagi”, sambung Retno.
Retno menjelaskan, saat menerima pengaduan tersebut, dirinya langsung berkoordinasi dengan Ketua Pokja Pencegahan dan Penanggulangan 3 Dosa Besar di Pendidikan, Chatarina Girsang yang juga Kepala Inspektorat Jenderal KemendikbudRistek yang langsung menurunkan tim ke Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor.
Tim mendapatkan penjelasan dari pihak sekolah bahwa permasalahan tersebut sudah diselesaikan dengan para orangtua, dilampirkan bukti berita acara islah dan dibubuhi tandatangan.
“Ada tiga orangtua dan anak yang mendatangani, namun ketiganya tidak sama dengan pihak yang mengadu kepada kami. Saat pengadu kami konfirmasi apakah mengetahui kesepakatan dalam berita acara tersebut dan apakah diundang dalam islah tersebut, ternyata keduanya menjawab sama sekali belum mengetahui dan tidak pernah diundang islah oleh pihak sekolah”, ungkapnya.
Lebih jauh Retno menjelaskan, KPAI dan Itjen KemendikbudRistek melakukan pertemuan secara daring dengan dua orangtua yang anaknya menjadi salah satu korban yang harus membuka celananya untuk membuktikan bahwa dirinya sedang menstruasi.
Pertemuan ini dimaksud untuk mendengarkan keterangan dari sisi korban dan keluarganya, setelah sebelumnya Tim Itjen KemendikbudRistek sudah melakukan pertemuan luring untuk mendengarkan keterangan sekolah dan Dinas Pendidikan.
“Saat pertemuan daring dengan KPAI dan Itjen Kemendikbudristek, salah satu ibu korban menyatakan bahwa apa yang dialami putrinya merupakan bentuk pelecehan seksual yang dilakukan perempuan dewasa terhadap anak perempuan dibawah umur,” ungkap Retno.
Para orangtua menceritakan kondisi psikis anaknya yang sangat terpukul sejak mendapatkan perlakuan tidak etis di sekolah lantaran tidak mengikuti salat dhuha berjamaah karena sedang datang bulan.
“Kedua Anak korban selalu menangis ketika membaca berita dan melihat tiktok atas peristiwa tersebut, tidak hanya merasa trauma karena dipermalukan dan direndahkan, namun juga tidak terima karena pemberitaan di media massa maupun di media sosial tidak seperti kejadian yang sebenarnya,” urai Retno.
Menurut para orangtua, anak korban mendapatkan konseling dari guru BK maupun psikolog, namun anak korban merasa tidak nyaman dengan pernyataan salah satu guru BK yang seolah mendorong anak korban untuk berhenti mempermasalahkan peristiwa ini lagi karena para guru yang melakukan tugas sekolah tersebut kelak akan mengajar dia ketika naik kelas nantinya.
Akibat pernyataan tersebut, anak korban secara psikis didera rasa ketakutan setelah pengaduan atau keberatan orangtua mereka kepada pihak sekolah atas peristiwa yang dialaminya. Ketakutan ini sangat wajar, mengingat para guru yang melakukan, yang terlibat dalam peristiwa ini adalah para guru yang sedang atau akan mengajarnya kelak hingga lulus.
“Ketakutan ini tentu sangatlah masuk akal karena adanya relasi kuasa antara anak korban yang masih dibawah umur dengan terduga pelaku yang merupakan pendidik ditempatnya bersekolah”, pungkas Retno. (yas)