Tim Hukum Gubernur Papua Minta Gunakan Hukum Adat, Ini Jawaban KPK

Tim-hukum-istri-dan-anak-dari-Gubernur-Papua-Lukas-Enembe

Tim hukum istri dan anak dari Gubernur Papua Lukas Enembe mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Senin (10/10/2022). Foto: Istimewa.

INDOPOS.CO.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyayangkan pernyataan penasihat hukum tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe (LE) yang meminta penanganan perkara dugaan korupsi di Provinsi Papua menggunakan hukum adat.

“Kami sampaikan bahwa sejauh ini betul bahwa eksistensi seluruh hukum adat di Indonesia diakui keberadaannya. Namun untuk kejahatan, terlebih korupsi, maka baik hukum acara formil maupun materiil tentu mempergunakan hukum positif yang berlaku secara nasional,” tegas Kepala Bagian Pemberitaan sekaligus Juru Bicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri, Selasa (11/10/2022).

“Perihal apabila hukum adat kemudian juga akan memberikan sanksi moral atau adat kepada pelaku tindak kejahatan, hal tersebut tentu tidak berpengaruh pada proses penegakan hukum positif sesuai undang-undang (UU) yang berlaku,” kata Ali.

“Kami meyakini para tokoh masyarakat Papua tetap teguh menjaga nilai-nilai luhur adat yang diyakininya, termasuk nilai kejujuran dan antikorupsi. Sehingga tentunya juga mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di Papua,” tambah Ali.

Ali menegaskan, justru KPK menyayangkan pernyataan dari penasihat hukum tersangka (Gubernur Papua Lukas Enembe) yang mestinya tahu dan paham persoalan hukum ini, sehingga bisa memberikan nasihat-nasihat secara professional.

“Kami khawatir statement yang kontraproduktif tersebut justru dapat menciderai nilai-nilai luhur masyarakat Papua itu sendiri,” tutup Ali.

Untuk diketahui, tim hukum dan advokasi Gubernur Papua (THAGP) yang terdiri dari 20 advokat mendatangi Gedung Merah Putih KPK untuk menyerahkan surat penolakan anak dan istri Gubernur Papua menjadi saksi.

Selain alasan hukum, tim hukum Gubernur Papua juga menyampaikan alasan adat Papua. Mereka mengatakan, berdasarkan keputusan keluarga besar dan masyarakat adat Papua, di mana keluarga Lukas Enembe termasuk kepala suku terbesar di Papua, yaitu Suku Lanny, yang telah melarang Yulice Wenda (istri Gubernur Papua Lukas Enembe) dan Astract Bona Timoramo Enembe (anak dari Lukas Enembe) untuk pergi ke Jakarta, dan meninggalkan tanah Papua.

“Karena mereka berdua itu merupakan satu kesatuan dengan Bapak Gubernur Papua Lukas Enembe. Jadi tidak bisa dipisahkan. Ada kearifan lokal di tanah Papua, yang harus diperhatikan penyidik KPK untuk memanggil Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe, sebagai saksi ke Jakarta. Ini sudah merupakan keputusan masyarakat adat Papua,” ujar anggota THAGP Aloysius Renwarin.

Dijelaskannya, berdasarkan budaya di Papua, jika terjadi peperangan, maka yang tidak boleh disentuh adalah anak, perempuan (istri), orang tua dan orang yang sedang sakit.

“Jadi secara adat di Papua, dengan memperhatikan kearifan lokal yang ada, terhadap istri dan anaknya, tidak dapat diganggu, dengan adanya pemanggilan KPK, dan dipisahkan dari Pak Lukas Enembe. Apalagi saat ini, Gubernur Papua sedang sakit dan secara budaya harus dihargai. Terhadap Gubernur Papua sendiri harus diberikan akses untuk pemulihan kesehatan termasuk dibuka kembali rekening yang diblokir, supaya bisa dipakai untuk membiyai pengobatannya,” kata Aloysius.

Atas dasar alasan-alasan itulah, kedua saksi menyatakan menolak/mengundurkan diri menjadi saksi karena undang-undang, dalam perkara dugaan gratifikasi Gubernur Papua Lukas Enembe.

Ia mengatakan Lukas Enembe telah ditetapkan dan dilantik sebagai kepala suku besar Papua pada tanggal 8 Oktober 2022 oleh Dewan Adat Papua (DAP) lewat sidang resmi yang dihadiri ketua Dewan Adat Papua, 7 wilayah yaitu, wilayah Adat Bomberay, wilayah Adat Domberai, wilayah Adat Mepago, wilayah Adat Lapago, wilayah Adat Saireri, wilayah Adat Tabi, dan wilayah Adat Animha.

‘Maka dengan kewenangan sebagai kepala suku besar ini segala masalah berhubungan dengan Bapak Lukas Enembe harus diselesaikan dengan hukum adat dan disaksikan oleh Dewan Adat Papua dan masyarakat Papua,” tutup Aloysius. (dam)

Exit mobile version