Lengkapi Barang Bukti Penyidikan, KPK Geledah Ruangan Dua Hakim Agung

KPK

Gedung Merah Putih KPK. (Dokumen KPK)

INDOPOS.CO.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruangan dua hakim agung yakni Hakim Agung Pim Haryadi dan Hakim Agung Sri Murwahyuni di Gedung Mahkamah Agung, Selasa (1/11/2022) hari ini.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri membenarkan adanya penggeledahan di Gedung Mahkamah Agung tersebut.

Ali mengatakan, upaya paksa penggeledahan ini dilakukan untuk mengumpulkan dan melengkapi barang bukti penyidikan.

“KPK akan mengumumkan informasi lebih lanjut tersebut saat operasi penggeledahan telah selesai,” ujar Ali.

Untuk diketahui, KPK menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati, Hakim Yustisial Elly Tri Pangestu, dan sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Mahkamah Agung sebagai tersangka.

Beberapa di antaranya terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada September 2022. Para pelaku diduga menerima suap terkait pengurusan kasasi Koperasi Simpan Pinjam Intidana di MA.

Sementara itu, Sudrajad Dimyati menyerahkan diri ke KPK satu hari berikutnya setelah ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam perkara ini, 10 orang yang ditetapkan sebagai tersangka adalah SD (Sudrajad Dimyati), Hakim Agung pada Mahkamah Agung; ETP (Elly Tri Pangestu,) Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung; DY (Desy Yustria), PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung.

Selanjutnya, MH (Muhajir Habibie), PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung; NA (Nurmanto Akmal), PNS Mahkamah Agung; AB (Albasri), PNS Mahkamah Agung; YP (Yosep Parera), pengacara; ES (Eko Suparno), pengacara; HT (Heryanto Tanaka), swasta /debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana) dan IDKS (Ivan Dwi Kusuma Sujanto), swasta /debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana).

Dalam konstruksi perkara dijelaskan, pengungkapan kasus ini diawali adanya laporan pidana dan gugatan perdata terkait dengan aktivitas dari koperasi simpan pinjam ID (Intidana) di Pengadilan Negeri Semarang yang diajukan HT dan IDKS dengan diwakili melalui kuasa hukumnya yakni YP dan ES.

Saat proses persidangan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, HT dan ES belum puas dengan keputusan pada 2 lingkup pengadilan tersebut sehingga melanjutkan upaya hukum berikutnya di tingkat kasasi pada Mahkamah Agung.

Pada tahun 2022, dilakukan pengajuan kasasi oleh HT dan IDKS dengan masih mempercayakan YP dan ES sebagai kuasa hukumnya.

Dalam pengurusan kasasi ini, diduga YP dan ES melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan Mahkamah Agung yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan Majelis Hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP dan ES.

Adapun pegawai yang bersedia dan bersepakat dengan YP dan ES yaitu DY dengan adanya pemberian sejumlah uang.

DY selanjutnya turut mengajak MH dan ETP untuk ikut serta menjadi penghubung penyerahan uang ke Majelis Hakim.

DY dan kawan-kawan diduga sebagai representasi dari SD dan beberapa pihak di Mahkamah Agung untuk menerima uang dari pihak-pihak yang mengurus perkara di Mahkamah Agung.

Terkait sumber dana yang diberikan YP dan ES pada Majelis Hakim berasal dari HT dan IDKS.

Jumlah uang yang kemudian diserahkan secara tunai oleh YP dan ES pada DY sejumlah sekitar SGD 202.000 (ekuivalen Rp2,2 miliar) yang kemudian oleh DY dibagi lagi dengan pembagian DY menerima sekitar sejumlah Rp250 juta, MH menerima sekitar sejumlah Rp850 juta, ETP menerima sekitar sejumlah Rp100 juta dan SD menerima sekitar sejumlah Rp800 juta yang penerimaannya melalui ETP.

Dengan penyerahan uang tersebut, putusan yang diharapkan YP dan ES pastinya dikabulkan dengan menguatkan putusan kasasi sebelumnya yang menyatakan KSP ID pailit.

Ketika Tim KPK melakukan tangkap tangan, dari DY ditemukan dan diamankan uang sejumlah sekitar SGD 205.000 dan adanya penyerahan uang dari AB sejumlah sekitar Rp50 juta.

KPK menduga DY dan kawan-kawan juga menerima pemberian lain dari pihak-pihak yang berperkara di Mahkamah Agung dan hal ini akan didalami lebih lanjut oleh Tim Penyidik.

Tersangka SD bersama-sama DS, ETP, MH, NA dan AB sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (dam)

Exit mobile version