Penghentian Siaran TV Analog Terlalu Dipaksakan, Rakyat Jadi Korban

Dr.-Trubus-Rahadiansyah

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Jakarta Dr. Trubus Rahadiansyah. Foto: Istimewa.

INDOPOS.CO.ID – Kebijakan pemerintah menghentikan siaran televisi (TV) analog saat ini untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) menuai protes dari masyarakat.

Hal ini terjadi selain karena minimnya sosialisasi tetapi juga ketidakmampsiaran televisiuan masyarakat secara ekonomi membeli Set Top Box (STB) untuk beralih ke siaran TV digital.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Jakarta, Dr. Trubus Rahadiansyah menegaskan kebijakan pemerintah mematikan siaran televisi analog sangat dipaksakan dan risikonya, masyarakat menjadi korban.

“Benar bahwa pemerintah memberikan bantuan STB ke warga dengan kategori miskin. Namun, yang perlu disadari dan dipahami oleh pemerintah, jumlah warga miskin pasca kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pasti bertambah. Bantuan STB tidak mungkin menjangkau seluruh masyarakat miskin yang ada,” tegas Trubus ketika ditanya indopos.co.id, Senin (7/11/2022).

Trubus menegaskan, dalih yang disampaikan pemerintah bahwa program migrasi dari siaran analog ke TV digital sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebenarnya tidak beralasan karena dalam UU Cipta Kerja tersebut tidak bersifat wajib dan lebih fleksibel.

“Seharusnya kebijakan migrasi ke siaran TV digital dilakukan secara bertahap selama periode waktu 3 tahun, sampai masyarakat benar-benar siap. Masyarakat telah terbebani oleh kenaikan BBM, ditambah kebijakan migrasi ke TV digital. Rakyat tetap menjadi korban. Kesulitan untuk membeli STB tidak hanya dialami oleh masyarakat ekonomi bawah tetapi juga kelas menengah karena masih banyak kebutuhan lain yang harus diperhatikan,” ungkapnya.

Menurut Trubus, kebijakan migrasi ke siaran TV digital lebih mengutamakan pemasukan untuk pendapatan negara ketimbang memperhatikan nasib masyarakat.

Untuk diketahui, siaran analog atau menggunakan antena konvensional saat ini sudah dimatikan pemerintah di wilayah Jabodetabek.

Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah wajib mulai mengalihkan siaran televisi di wilayah NKRI dari sistem analog ke sistem digital pada 2 November 2022. Program ini disebut sebagai Analog Switch Off (ASO).

Dengan beralih ke siaran digital, pemerintah menjanjikan pengalaman menikmati konten siaran televisi yang lebih baik bagi penonton.

Pemerintah menyatakan televisi digital membuat masyarakat bisa mendapatkan kualitas gambar yang lebih jernih dan canggih.

Sesuai studi Boston Consulting Group (BCG) tahun 2017, ASO akan memberikan multiplier effect dan dampak perekonomian yaitu penambahan 181.000 kegiatan usaha baru; penciptaan 232.000 lapangan pekerjaan baru; peningkatan penerimaan negara dalam bentuk pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp77 triliun dan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp443,8 triliun; dampak multiplier ekonomi dan sosial lainnya bagi masyarakat di sektor pendidikan, kesehatan, dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berkeyakinan bahwa multiplier effect dari digitalisasi penyiaran akan jauh lebih besar dibandingkan dengan studi BCG yang dilakukan pada tahun 2017. Kementerian Kominfo akan melakukan analisa dan studi baru terhadap manfaat multiplier effect dari digitalisasi penyiaran Indonesia yang diyakini manfaatnya akan jauh lebih besar lagi.

Selanjutnya Kementerian Kominfo mengimbau agar seluruh pihak yang berkepentingan dan masyarakat terus berkolaborasi menyukseskan ASO agar layanan penyiaran digital bagi masyarakat lebih berkualitas dan bervariasi guna mewujudkan Indonesia Terkoneksi: Makin Digital, Makin Maju. (dam)

Exit mobile version