INDOPOS.CO.ID – Pembunuhan terhadap perempuan atau femisida adalah bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrem terhadap perempuan.
Dan tindakan tersebut belum direspon secara komprehensif oleh negara.
Pernyataan tersebut diungkapkan Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam keterangan, Sabtu (26/11/2022).
Hal itu, menurut dia, menyebabkan, hak perempuan korban atas keadilan dan kebenaran serta hak keluarga korban pemulihan tidak terpenuhi.
Komnas Perempuan telah mengembangkan pengetahuan perempuan tentang femisida sejak 2020 lalu. Hal ini dilakukan karena pengaduan kasus femisida ke lembaga layanan maupun ke Komnas Perempuan nyaris tidak ada.
“Femisida ini sebagai “pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini,” terangnya.
Deklarasi Wina mencatat 9 kategori femisida di antaranya: femisida pasangan intim, femisida budaya (femisida atas nama kehormatan, femisida terkait mahar, femisida terkait ras, femisida terkait tuduhan sihir, femisida terkait pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP), femisida terhadap bayi perempuan), femisida dalam konteks konflik sosial bersenjata dan perang.
Lalu, femisida dalam konteks industri seks komersial, femisida terhadap perempuan dengan disabilitas, femisida terhadap orientasi seksual dan identitas gender, femisida di penjara, femisida non intim, dan femisida terhadap perempuan pembela HAM.
“Hasil pemantauan mencatat 84 kasus femisida pasangan intim baik yang dilakukan oleh suami maupun mantan suami korban,” katanya.
“Dan berdasarkan penelitian atas putusan pengadilan yang didasarkan tiga kata kunci (korban adalah istri, pembunuhan terhadap istri, dan penganiayaan terhadap istri) menemukan 15 kasus pembunuhan terhadap istri sejak 2015,” imbuhnya.
Ia mengatakan, hasil pemantauan media maupun analisis putusan pengadilan menunjukkan adanya lapisan dan bentuk penganiayaan seperti dicekik, ditindih, dipukul, dibekap, ditendang, dibacok, dimutilasi, dibanting, dibakar hingga pembuangan mayat. Sedangkan menyangkut motif pembunuhan, varian terbanyak adalah pertengkaran dan cemburu.
“Motif ini berakar dari gagasan kepemilikan laki-laki terhadap perempuan, di mana perempuan dipandang sebagai properti dan di bawah kendali laki-laki,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pada kasus femisida pasangan intim terjadi di ranah rumah tangga/ personal yang dilakukan dalam relasi keluarga, perkawinan maupun pacaran. Temuan Komnas Perempuan mencatat, pembunuhan oleh mantan pacar ataupun mantan suami menggambarkan fenomena post separation abuse atau penganiayaan pasca perpisahan.
“Catatan Tahunan (CATAHU) bahwa rumah tangga dan relasi intim merupakan tempat yang tidak aman bagi perempuan,” katanya. (nas)