Sosialisasi PTSL Harus Lebih Masif

Program-Evaluasi-PTSL

Jurnalis INDOPOS.CO.ID, Riza Awaluddin (kiri) saat berbicara dalam kegiatan evaluasi pelatihan, dan penguatan pengumpul data pertanahan oleh Direktorat Pengaturan Tanah dan Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), di Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Kamis (1/12/2022). Foto: Yasri Chaniago/INDOPOS.CO.ID

INDOPOS.CO.ID – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTS) yang dimulai sejak tahun 2016 dan ditargetkan selesai 2025, akan sulit tercapai jika tidak didukung oleh stakeholder, termasuk dari pemerintah daerah, dari mulai pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota hingga kecamatan dan desa.

Hal ini diungkapkan oleh Jurnalis INDOPOS.CO.ID, Riza Awaludin, pada kegiatan evaluasi pelatihan pengumpulan data tanah (Puldatan) oleh Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN di Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Kamis (1/12/2022).

Menurut Riza, selama ini program PTSL disambut baik dan antusias oleh masyarakat. Kecuali, lanjutnya, ada beberapa daerah yang memang masyarakatnya tidak ingin tanah yang berasal dari tanah warisan disertpikatkan.

“Mereka terutama tokoh adat atau ‘kepala suku’ beranggapan, jika tanah sudah bersertipikat akan mudah ditrasaksikan seperti dijaminkan ke bank atau dijual kepada pihak lain seperti yang terjadi di Sumatera Barat sehingga tak heran target PTSL di sana tidak akan pernah tercapai,” tuturnya.

Namun demikian, di Pulau Jawa rata-rata masyarakat menyambut gembira adanya program PTSL. Ada juga keengganan dari masyarakat ikut dalam program PTSL, karena minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Sehingga hal ini banyak dimanfaatkan oleh oknum pejabat desa untuk melakukan aksi pungli PTSL.

Seperti yang terjadi di beberapa desa di Kabupaten Tangerang. Di Kecamatan Cikupa dan Balaraja, sejumlah oknum pejabat desa dari mulai kepala desa hingga kepala seksi kini menjadi tersangka pungli PTSL dan ditahan oleh polisi.

“Agar target PTSL dapat tercapai, BPN perlu menggencarkan kembai sosialiasi dengan melibatkan semua stakeholder agar masyarakat mau mensertifikatkan tanahnya,serta adanya kepastian dari BPN berapa biaya dalam program PTSL tersebut,” cetusnya.

Menurut Riza, besaran biaya PTSL bisa ditempelkan di kantor desa atau ruang pubik maupun media massa, agar masyarakat dapat mengetahui besaran biaya dalam program PTSL tersebut.

“Tak kalah penting, harus ada kejelasan dari BPN apa saja yang menjadi kewajiban masyarakat dalam program PTSl, selain patok tanah dan materai,” katanya.

Tak hanya itu, Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai penanggungjawab wilayah harus memiliki wibawa dan punya inovasi dalam menggerakan Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten untuk mensertifikatkan tanah warga. Hal ini bisa dilakukan melalui program PTSL reguler yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun PTSL PM (Partisipasi Masyarakat) yang didanai oleh Bank Dunia.

“Selain itu harus ada reward and punishment dari kementerian untuk pejabat BPN di daerah agar bisa menjadi motivasi dan contoh bagi yang lain,” tegasnya.

Selain persoalan tadi, untuk mencapai target PTSL jumlah juru ukur dan Puldatan PTSL PM. Petugas ukur dari kantor pertanahan dalam program PTSL reguler juga harus ditambah. Mengingat selama ini terjadi keterlambatan keluarnya surat ukur karena minimnya jumlah surveyor dan petugas ukur.

“Kendala lainnya adalah, sulitnya petugas BPN mengumpulkan data yuridis (atau alas hak karena pemilik tanah yang masuk dalam program PTSL tidak ada ditempat atau tanahnya dimiliki oleh orang dari luar daerah,” pungkas Riza.(yas)

Exit mobile version