Pakar Kesehatan Sarankan 2 Hal Atasi Kekurangan Dokter Spesialis di Indonesia

Dokter

Ilustrasi dokter. ( Freepik)

INDOPOS.CO.ID – Dokter Spesialis Paru/Pulmonologist Konsultan, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Prof Tjandra Yoga Aditama merespons berbagai berita tentang kekurangan dokter spesialis, mahalnya biaya pendidikan dan kemungkinan membuka pendidikan tidak di universitas tapi di rumah sakit.

Sebenarnya Indonesia pernah punya kebijakan panjang (lebih dari 10 tahun) bahwa dokter baru lulus ditempatkan di Puskesmas seluruh tanah air sebagai PNS.

“Sesudah selesai tugas di Puskesmas (antara 3 – 5 tahun), maka dokter itu dapat melanjutkan pendidikan spesialisasi,” kata Tjandra dalam keterangannya, Jakarta, Senin (12/12/2022).

Menurutnya, kebijakan yang pernah cukup lama diterapkan tersebut punya dua keunggulan. Pertama, ketersediaan dokter di Puskesmas menkadi terjamin.

“Di kala itu praktis semua Puskesmas ada dokternya. Kedua, karena sudah PNS maka ketika selesai Puskesmas dan masuk pendidikan spesialisasi maka tentu saja si dokter terima gaji, jadi berbeda dengan situasi sekarang seperti di berbagai berita sekarang ini,” ucap Tjandra.

Ia mengusulkan, dua kebijakan yang pernah ada tersebut dapat kembali diberlakukan tentu dengan penyesuaian yang diperlukan sesuai situasi sekarang.

“Karena dua keunggulan ini maka kebijakan yang pernah diterapkan itu dapat juga dipertimbangkan untuk diterapkan kembali,” tutur Pakar ilmu kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan pihaknya berupaya meningkatkan ketersediaan dokter spesialis. Pemenuhan ini dilakukan karena jumlah dokter spesialis masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dokter umum.

Mengatasi kekurangan itu, pihaknya mengungkapkan telah melakukan tiga upaya guna meningkatkan kapasitas serta kualitas dokter spesialis khususnya untuk pelayanan jantung.

Pertama, meningkatkan jumlah prodi. Sebab, jumlah tersedia saat ini masih jauh dari harapan. Dari 92 Fakutas Kedokteran di Indonesia, hanya Ada 20 FK yang memiliki prodi pelayanan jantung, sementara yang bisa melakukan spesialis Departemen Bedah Toraks Kardiovaskular (BTKV) hanya dua prodi.

Kemenkes bekerjasama dengan Kemendikbud akan kejar pemenuhan tenaga kesehatan dengan menambah jumlah prodi Kedokteran supaya makin banyak menghasilkan dokter dan dokter spesialis.

“Kita ada hitung-hitungannya, dari 188 spesialis yang praktik hanya 42 orang. Jumlah ini tentu tidak cukup untuk melayani 270 juta masyarakat Indonesia,” ujar Budi baru-baru ini.

Kedua, membuka fellowship. Melakukan kerja sama dengan kolegium dan organisasi profesi untuk membuka fellowship seluas-luasnya untuk melatih mereka supaya bisa memasang ring maupun pelayanan jantung lainnya.

“Saat ini tenaga kesehatan kita masih kurang, kita mesti butuh puluhan tahun. Supaya cepat, salah satunya melalui fellowship,” jelas Budi.(dan)

Exit mobile version