INDOPOS.CO.ID – Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) dan Riset, Teknologi (Ristek), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Riset, Teknologi (Kemendikbudristek) bergerak cepat terkait dugaan korupsi oleh dua orang oknum internalnya.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur jenderal Dikti Ristek Nizam mengatakan, dugaan penyelewengan dana dilakukan oleh dua stafnya.
“Penyelewengan diduga untuk memperkaya diri. Dan ini mereka lakukan pada 2021 lalu,” ungkap Nizam saat dihubungi, Selasa (13/12/2022).
Ia menegaskan, dugaan korupsi tersebut diketahui pada awal 2022. Kedua oknum diketahui membuat kegiatan fiktif.
“Kami bergerak cepat dengan meminta investigasi dari Itjen Kemendikbudristek,” tegasnya.
“Setelah terbukti, kami mengajukan rekomendasi ke Setjen Kemendikbudristek untuk penetapan hukuman,” tambahnya.
Sambil menunggu keputusan kepegawaian dari kedua oknum tersebut, lanjut dia, Ditjen Dikti Ristek pun sudah memberhentikan mereka dari jabatan PPK (pejabat pembuat komitmen) dan bendahara pengeluaran pembantu (BPP).
“Saat ini sedang diproses di biro SDM (sumber daya manusia) Sekretariat Jenderal. Kami masih menunggu penjatuhan sanksi hukumannya,” jelas Nizam.
“Untuk mencegah tindak pidana korupsi, kami membangun sistem yang lebih transparan, seperti meniadakan transaksi tunai,” sambungnya.
Sebelumnya, dua orang staf Direktorat Sumber Daya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek diduga melakukan tindak pidana korupsi. Modusnya, membuat kegiatan fiktif.
Menurut sumber INDOPOS.CO.ID, keduanya merupakan pejabat pengelola keuangan. Pejabat berinisial DT menjabat sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) sementara SM berstatus BPP. Keduanya diketahui telah lama menjabat sebagai pengelola keuangan di Dikti Ristek. Mereka kemudian menyalahgunakan pengetahuannya untuk memperkaya diri sendiri.
Dari penelusuran tim investigasi Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek, diperoleh data antara lain adanya tindak pemalsuan data berupa invoice hotel, pemalsuan data Tim Ahli yang berasal dari Universitas Gunadarma, serta penyalahgunaan honor narasumber kegiatan. Hal ini mengakibatkan kerugian sebanyak lebih dari Rp2 miliar.(nas)