Digitalisasi Bukan Panasea Mencegah Korupsi

Luhut-BP

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dalam Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Tahun 2023-2024, Selasa (20/12/2022). Foto: maritim.go.id

INDOPOS.CO.ID – Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, sangat tepat dan bagus bila membangun sistem manajemen digitalisasi mencegah korupsi seperti yang dikatakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Invetasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Menurutnya, digitalisasi hanya sebagai alat bantu mencegah korupsi.

“Sebab, harus diketahui bahwa digitalisasi bukan panasea (obat mujarab) mencegah perilaku korupsi. Sekali lagi digitalisasi bukan solusi tunggal,” terang Emrus kepada INDOPOS.CO.ID, Kamis (22/12/2022).

Ia menyatakan, banyak variabel sosial terlibat dan saling terkait satu dengan yang lain untuk mencegah korupsi.

“Dua diantaranya adalah, penegakan hukum anti korupsi oleh lembaga anti rasuah dan keteladanan seorang menteri, seperti jangan sampai kekayaan seorang menteri bertengger signifikan di tengah dia mencurahkan pikiran, tenaga dan waktu secara total memimpin kementerian dibanding sebelum menteri,” tuturnya.

Jadi, kata Emrus, sangat tidak tepat pendapat mengatakan bahwa jika sudah digitalisasi siapa yang berani korupsi (melawan).

Sebab, korupsi produk konstruksi sosial sebagai a-budaya dan a-sejarah. Misalnya, mulai dari pemberian upeti, pungutan liar (pungli), hingga “jatah-jatahan” dari diskresi relasi kuasa.

“Anggaplah sistem digitalisasi sudah benar-benar teruji handal sebagai salah satu alat mencegah korupsi, bisa saja korupsi menurun. Dengan demikian, pasti pula OTT-OTT akan berkurang atau landai dengan sendirinya,” cetusnya.

Ia juga mengkritik yang menyatakan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) akan merusak citra Indonesia di mata internasional.

“Tidak perlu dikatakan, sedikit-sedikit OTT-OTT dan OTT-OTT nembuat posisi negara jelek di mata negara lain,” imbuhnya.

Selain itu, pandangan yang mengatakan bahwa digitalisasi mampu mencegah korupsi sangat mekanistis.

“Asumsinya, manusia (pejabat publik) diposisikan sebagai benda atau objek atau mesin sama dengan digitalisasi yang bergerak atas dasar stimuli semata yang “diperintahkan” oleh variabel penyebab,” ucap Emrus.

Padahal tidak demikian adanya, karena manusia itu, termasuk pejabat publik merupakan aktor sosial yang mengendalikan sistem digitalisasi tersebut.

“Sebagai aktor, setiap manusia punya kehendak bebas,” jelasnya.

Karena itu, relasi-relasi antar aktor sosial acapkali berlangsung “di panggung belakang”. Relasi panggung belakang inilah mengendalikan atau “mengatur” sistem digitalisasi dengan menggunakan diskresi-diskresi yang dimiliki manusia (pejabat publik).
Sebab, sebaik apapun digitalisasi, ia tetap alat yang dikendalikan manusia yang berada di balik sistem digitalisasi tersebut.

Ia mencontohkan, di China misalnya semakin sepi OTT-OTT karena orang semakin takut korupsi atau “mencuri” uang negara sebagai konsekuensi penegakan hukum yang dilakukan lembaga pemberantasan korupsi dan pembangunan sistem digitalisasi.

“Posisi lembaga anti rasuah sangat kuat tidak dilemahkan oleh pernyataan pejabat publik dengan melontarkan pesan bahwa OTT-OTT tidak baik untuk negeri,” tutupnya.(yas)

Exit mobile version