Peraturan Pelayanan Kesehatan Sistem Rujukan Berjenjang Bentuk “Implikasi pada Perkembangan Penduduk Dunia?”

prembun

Suasana RSUD Prembun, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Foto : rsudprembun.kebumenkab.go.id

INDOPOS.CO.ID – Keberhasilan negara   dapat dilihat dari terwujudnya tujuan   pembangunan nasional, tolak ukur keberhasilan tersebut dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat.

Masalah kesehatan kini menjadi fokus utama pemerintah dalam memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 ayat (3).

BPJS Kesehatan sebagai badan hukum Pemerintah yang memiliki tugas khusus yaitu menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945  Pasal  34  ayat (3), yaitu “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Ini karena kesehatan merupakan kebutuhan primer manusia untuk menjalankan fungsi dan peranannya sehingga mampu memperoleh kesejahteraan, dan menjadi hak bagi setiap warga negara.

Namun ketidakmerataan akses pelayanan kesehatan di setiap daerah menyebabkan tidak banyak masyarakat yang mendapatkan fasilitas pelayanan yang memadai.

Menurut Ratnasari, (2018), pemahaman masyarakat tentang alur rujukan sangat rendah, sehingga mereka tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Pasien menganggap sistem rujukan birokrasinya cukup rumit, sehingga pasien langsung merujuk dirinya sendiri kefasilitas kesehatan tingkat kedua atau ketiga (Setiawati & Nurrizka, 2019).

Keluhan lain terkait sistem rujukan BPJS yang dirasakan adalah ketidaksiapan tenaga kesehatan dan kurangnya fasilitas di layanan kesehatan primer, kasus yang seharusnya dapat ditangani di layanan primer/sekunder tetapi langsung dirujuk ke rumah sakit tersier.

Lain halnya dengan keluhan PNS di mana jika rujukan harus melalui puskesmas sementara mereka harus bekerja lamanya proses pengurusan tersebut menghabiskan jam kerja para PNS, sistem rujukan seharusnya tidak membuat PNS kesulitan (Erlindai, 2020).

Idealnya rujukan tidak hanya berasal dari Puskesmas, namun juga layanan primer lain, misalnya klinik tempat pekerja tersebut. Kasus lain yang menuai protes program JKN adalah mutasi peserta Jamsostek ke BPJS, seorang manula gagal mendapat pelayanan perawatan kesehatannya karena salah satu rumah sakit swasta yang sebelumnya merupakan rujukan Jamsostek menolaknya.

Peran tenaga kesehatan dalam sistem rujukan berjenjang adalah memahami secara jelas mengenai sistem rujukan karena perawat adalah petugas garda depan yang selalu menjadi tempat bertanya pasien atau masyarakat yang membutuhkan dan perawat harus selalu meningkatkan kompetensi agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara professional yang dibutuhkan pasien.

Jaminan kesehatan nasional diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, serta bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencangkup pelayanan promotif, preventif kuratif, dan rehabilitatif.

Selain itu melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan  pekerjaan, dan memasuki usia  lanjut atau pensiun, sehingga untuk mendukung pelaksanaan program tersebut pemerintah membentuk suatu badan penyelenggara sistem jaminan sosial nasional yang kemudian disahkan pada 29 Oktober 2011 dan dirumuskan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Dampak implikasi pengaturan sistem rujukan. Permasalahan proses sistem rujukan berkontribusi pada peningkatan mutu perawatan dengan membatasi over medicalization, over investigation dan over treatment. Hal ini memungkinkan pembagian tugas yang sesuai antara dokter umum dan dokter spesialis (Clarke, 2021), serta pelayanan kesehatan di semua FKTP menjadi lebih baik dan optimal (Faulina et al., 2016).

Bila sistem rujukan tidak dilaksanakan dengan baik, maka ketiga “over’ tersebut akan terjadi di rumah sakit. Untuk mendapatkan mutu pelayanan yang lebih terjamin, berhasil guna (efektif) dan berdaya guna (efisien), perlu adanya jenjang pembagian tugas diantara unit-unit pelayanan kesehatan melalui suatu tatanan sistem rujukan (Hasbullah et al., 2017).

Dengan sistem rujukan yang efektif, maka pasien akan mendapat penanganan lebih cepat dan tertangani dengan semestinya, tercipta pelayanan kesehatan yang bermutu, menyeluruh dan terpadu, serta terjadi pemerataan dalam infrastruktur pelayanan kesehatan di Indonesia.

Dalam JKN, FKTP menjadi garda depan dalam sistem pelayanan kesehatan. Sehingga tuntutan terhadap fasilitas pelayanan prima menjadi penting dilakukan oleh FKTP (Ratnasari, 2018).

Untuk mendukung pelayanan tersebut, pemerintah mendukung pembiayaan melalui sistem kapitasi (Indrianingrum et al., 2017). Kapitasi merupakan sistem pembiayaan yang dihitung berdasarkan jumlah kepesertaan JKN pada FKTP (Indrianingrum et al., 2017).

Meski demikian, masih banyak tantangan yang dihadapi. Dukungan pembiayaan dan kepesertaan masih belum optimal (Ratnasari, 2018). Tingginya permintaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tidak didukung oleh sistem pembiayaan yang baik.

Akibatnya, setiap tahun, pembiayaan untuk JKN mengalami deficit (Setiawati & Nurrizka, 2019). Dampaknya adalah pelayanan kesehatan menjadi terganggu.Banyak kasus dimana fasilitas kesehatan tidak mampu memberikan pelayanan yang baik karena minimnya infrastruktur pendukung untuk pelayanan.

Padahal, enam permintaan terhadap pelayanan kesehatan meningkat setiap tahunnya. Sudah lazim terjadi antrian panjang dari pasien yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan (Ashar, Wijayanegara, & Sutadipura, 2014).

Hal tersebut tentu berdampak terhadap persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dalam sistem JKN. Munculnya persepsi negatif dari masyarakat sangat mempengaruhi kinerja sistem JKN.

Harapan untuk memperbaiki sistem pelayanan kesehatan bisa terhambat akibat buruknya pelayanan kesehatan yang diterima kepada masyarakat (Ratnasari, 2018).

Meski aturan dalam sistem rujukan berjenjang sudah lama diterapkan.Namun, masih banyak yang perlu dibenahi. Oleh karena itu, perlu dilihat dimana hambatan pelaksanaan sistem rujukan berjenjang difasilitas kesehatan Indonesia, agar perbaikan kualitas pelayanan kesehatan dapat terus diperbaiki. (wulan ramadhani, eka novyriana, ois novitarini, susi hendriyati – unimugo/ibs)

Daftar Pustaka

Habib R, Hapsara, Filsafat, Pemikiran Dasar Pembangunan Kesehatan sebagai paradigma pembangunan kesehatan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2014.

Ibrahim, Jhony, Teori Dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi Malang : Bayumedia Publishing, 2015.
Manuaba, Ida Bagus Gde, Kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri, ginekologi, dan KB, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Cet 2, Jakarta: Kencana, 2018.
Wijaya, Andika, Hukum Jaminan Sosial Indonesia, Jakart: Sinar Grafika, 2018.

Exit mobile version