Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Harus Ada Pengawasan

dokter

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah (kiri) usai webinar “Quo Vadis Penegakan Disiplin Kedokteran di Indonesia" di Jakarta. Foto: Indopos.co.id/Dhika Alam Noor

INDOPOS.CO.ID – Penegakan pelanggaran etik kedokteran menjadi wewenang organisasi profesi yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sementara
pelanggaran disiplin ada pada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Persoalan yang menjadi momok bagi dokter atau dokter gigi dalam dunia
kedokteran ada pada proses penegakan disiplin yang dilakukan oleh MDKI dan KKI, terdapat prosedur atau hukum acara dalam penegakan disiplin yang sarat dengan pelanggaran HAM dan tidak sesuai dengan “Prinsip Due Process of Law.”

Salah satunya ialah tidak adanya proses berjenjang melakukan
keberatan atau banding atau koreksi atas putusan majelis pemeriksaan disiplin (MKD), yang dituangkan dalam
bentuk Keputusan MKDKI, karena Keputusan MKDKI mengikat kepada
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Hal tersebut diatur dalam Pasal 69 ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah menilai, penindakan indisipliner harus melihat dari perspektif HAM. Dalam setiap keputusan tetap harus berkeadilan.

“Tentu kita dari Komnas HAM ingin memastikan, dalam penegakan disiplin kedokteran di Indonesia itu harus dipastikan ada perspektif HAM yang dipegang. Karena dalam proses pengambilan keputusan, kita berharap tidak ada putusan yang mencederai HAM,” kata Anis dalam webinar “Quo Vadis Penegakan Disiplin Kedokteran di Indonesia, Jakarta, Senin (30/1/2023).

Dalam ketentuan tersebut, ketika dokter dan dokter gigi menjadi teradu atas adanya dugaan pelanggaran disiplin, menjalankan proses pemeriksaan di MPD, teradu
tidak punya kesempatan adil dalam membuktikan praktik, yang dilakukannya.

“Harus ada perluasan, agar MKDKI harus ada pengawasan. Perlu proses yang berkeadilan sesuai hak hukum dan hak asasi manusia seorang dokter dalam pemeriksan disiplin kedokteran,” ucap Anis.

Menurut, akademisi Hukum Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Muhtar Said, tindakan indispliner para dokter yang dilakukan ke pasien hendaknya diusut secara transparan dan adil.

“Soal proses hukumnya agar transparan, karena selama ini dirasa oleh kita itu tidak transparan, padahal asas hukum itu soal transparansi dan akuntabilitas,” ucap Muhtar.

Maka itu perlu pembinaan bagi dokter yang melakukan pelanggaran, dan jangan serta merta langsung diberi hukuman tanpa adanya transparansi.

“Kalau ada hukuman ada perbaikan itu sendiri jangan hanya soal suratnya dicabut tapi harus ada tahapan-tahapan mungkin surat-surat peringatan 1, peringatan 2 dan pencabutan,” imbuh Muhtar.

Perwakilan Kementerian Kesehatan yaitu dr. Agung Romilian berpandangan statmen dalam kegiatan hari ini cukup bermanfaat dan akan dipersiapkan terkait regulasinya.

“Prinsipnya dari Kementerian Kesehatan, kita sebagai regulator, sudah menyiapkan terkait dengan standar profesinya, Standar operasionalnya yang harus dipatuhi, dijalankan oleh tenaga kesehatan khususnya dokter,” jelas Agung. (dan)

Exit mobile version