Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia Berada di Ranking 110 dari 180 Negara

firli

Ketua KPK Firli Bahuri. Foto: Dokumen indopos.co.id

INDOPOS.CO.ID – Berdasarkan data Transparency International, angka Corruption Preception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022, mendapat skor 34 atau turun empat poin dari tahun sebelumnya. Catatan ini menempatkan Indonesia pada ranking 110 dari 180 negara.

Tren IPK Indonesia mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir. Di mana angka tertinggi yang pernah didapat ialah 40 pada tahun 2019 dan terendah pada tahun 2012-2013 dengan skor 32.

Hal ini menjadi pembahasan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) KPK bersama Komisi III DPR, yang berlangsung di Gedung DPR RI, Kamis (9/2/2023).

Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, penurunan angka CPI 2022 bersumber dari tiga indikator utama. Pertama, Political Risk Services (PRS) International Country Risk Guide. Kedua, Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Yearbook, dan ketiga, Political Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide.

“Ketiga aspek ini sangat berpengaruh pada sektor prioritas di Indonesia yaitu sektor dunia usaha, sektor politik, dan sektor layanan publik,” kata Firli.

Jika dilihat, lanjut Firli, berdasarkan risk assessment ada konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha. Perilaku suap untuk mendapatkan perizinan ekspor, perizinan impor, proses pemeriksaan pajak, dan pinjaman yang masih terus terjadi. Hubungan illegal politik dan bisnis, sistem kroni, nepotisme, reservasi jabatan, imbal bantuan, pendanaan rahasia juga masih masif.

Di sisi lain, penyebab menurunnya IMD World Competitiveness ialah tingkat suap dan korupsi di dalam dunia usaha. Di mana terjadi persaingan usaha yang tidak sehat dengan menggunakan cara-cara kotor.

“Sementara penurunan PERC dipengaruhi pada persepsi korupsi di kalangan eksekutif lokal, akademisi, dan ekspatriat yang sering ditemukan di institusi,” jelas Firli.

Uraian masalah di atas menunjukkan perlunya perbaikan secara masif dan terstruktur pada dunia bisnis, politik, dan hukum di Indonesia jika ingin skor CPI meningkat pada tahun yang akan datang.

Melihat penurunan skor CPI 2022, tentunya tidak membuat KPK tinggal diam. Tiki-taka program pemberantasan korupsi di bawah payung Trisula Pemberantasan Korupsi terus dijalankan secara stimultan dengan harapan memberikan dampak yang signifikan.

Pada sektor ekonomi, KPK melalui Direktorat Antikorupsi Badan Usaha (AKBU) telah memfasilitasi pembangunan ekosistem dan lingkungan bisnis yang bersih dari korupsi terutama dari praktik suap, gratifikasi, dan pemerasan.

KPK mendorong implementasi sistem manajemen anti-penyuapan (SMAP). Salah satunya dengan menerapkan panduan cegah korupsi. Di mana badan usaha dapat mengadopsi prinsip panduan cegah korupsi dengan mengaksesnya melalui laman jaga.id.

Selain itu, KPK juga membangun Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) melalui sinergi bersama berbagai instansi pada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (KLPD). KPK pun mendorong KLPD untuk menerapkan whistle blowing system sebagai upaya pengendalian korupsi. Harapannya, langkah pencegahan ini mampu mendorong terbangunnya lingkungan usaha yang berintegritas.

Sementara di sektor politik, KPK telah menjalankan program Politik Cerdas Berintegritas (PCB). Tahun 2022, PCB telah diikuti oleh 20 parpol (16 parpol nasional dan 4 parpol lokal Aceh) serta penyelenggara pemilu pusat maupun daerah. Pada 2023, KPK akan melanjutkan program ini kepada 6 parpol.

Lalu, pada sektor penegakan hukum, KPK menemukan fakta belum efektifnya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Bahkan, masih ditemukan praktik korupsi di lembaga penegak hukum itu sendiri. Hal ini menjadi catatan serius mengingat seharusnya aparat penegak hukum (APH) menjadi garda terdepan penegakan hukum di Indonesia.

Pada dasarnya, KPK senantiasa tidak henti menjalankan program pemberantasan korupsi baik pada sektor pendidikan, pencegahan, dan penindakan. Tiki-taka program ini tentunya akan berjalan secara efektif jika didukung oleh pelbagai pihak, utamanya lembaga negara, DPR, DPRD, APH, Pemda, dan masyarakat mau berkolaborasi bersama.

Hal ini menjadi penting karena komponen IPK sangat luas (ekonomi, demokrasi, layanan publik, politik). Sehingga perlu dikoordinasikan oleh pemerintah, karena adanya keterbatasan kewenangan pada masing-masing instansi.

“KPK berharap pentingnya kolaborasi dan saling menurunkan ego sektoral agar pemberantasan korupsi di Indonesia bisa menjadi kenyataan,” tutup Firli. (dam)

Exit mobile version