Bhineka Tunggal Ika dan Indonesia Poros Maritim Dunia, Ini Kata Sri Sultan HB X

Sri-Sultan-HB-X

Sri Sultan HB X saat menghadiri maritime award di Jakarta. Foto: ISPEC for INDOPOS.CO.ID

INDOPOS.CO.ID – Di tengah upaya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, ada kewajiban nasional untuk memperkuat integrasi bangsa. Hal ini melalui strategi nasional aktualisasi nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika.

Pernyataan tersebut diungkapkan Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam keterangan, Senin (13/2/2023). Ia menekankan, bahwa sekalipun Indonesia satu, tetap tidak boleh dilupakan bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu kemajemukan.

“Pengalaman mengajarkan bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial untuk bisa melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat. Melainkan pengakuan akan adanya keberagaman (bhinneka), dan kesediaan untuk menghormati kemajemukan bangsa Indonesia,” terangnya.

Kenyataan kemajemukan inilah, masih ujar dia, seringkali diabaikan dalam wacana politik elit negeri ini. Sekalipun diakui, bahwa Indonesia adalah masyarakat yang bhineka, atau berbeda-beda.

“Tetapi siapa pun kita, harus selalu diingat-ingatkan bahwa sesungguhnya kita ini satu (Tunggal Ika, reed). Dan sudah seharusnya menjadikan keberagaman sebagai faktor perekat integrasi bangsa, melalui upaya-upaya proaktif dan partisipatif,” ungkapnya.

Dalam orasi kebangsaan di Maritime Award 2022-2023 ISPEC di Jakarta, dikatakan Sri Sultan, tantangan tersebut bisa dijawab dengan melakukan flashback atas upaya peneguhan wawasan nusantara Bahari yang telah dilontarkan dalam Deklarasi Djuanda 1957 lalu.

“Wawasan Nusantara Bahari didesain sebagai simbol pemersatu bangsa tetap harus diperjuangkan. Meski nasib dari konsep itu belum mengalami kemajuan berarti,” ujarnya.

“Bukan itu saja, nilai ekonomis, strategis, bahkan simbolis dari batas wilayah laut, belum pernah dikembangkan secara sungguh-sungguh,” imbuhnya.

Dia menilai, Wawasan Nusantara Bahari telah menjadi isu politik penting, terutama dalam ide pembentukan poros lajur laut (axis sea-lanes), bagi pelayaran internasional melalui perairan Indonesia. Sejak 1960-an, menurut dia, tidak mungkin bagi pemerintah untuk mengabaikan wilayah maritim, di saat minyak bumi memompa uang ke dalam ekonomi Indonesia.

Pada 1970-an, masih ujar dia, merupakan dekade boom minyak bumi. Di mana sekitar 60 persen kegiatan eksplorasi dilakukan di perairan Nusantara. Alasan lain adalah urgensi pembaharuan konsep geopolitik dalam Wawasan Nusantara, yang juga tidak dapat dilepaskan dari nilai simbolis wilayah maritim.

“Misalnya ide tentang Indonesia, yang awalnya dikenal dengan integrasi seluruh komunitas dan pulau-pulau, ke dalam wilayah bekas Hindia Belanda dari Sabang hingga Merauke. Itulah ide yang harus dipertajam, bukan semata komunitas dan pulau-pulau, melainkan juga mencakup integrasi daratan dan maritimnya sampai 200 mil dari garis pantai,” ujar Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut.(nas)

Exit mobile version