Polemik Zakat di Tahun Politik

Polemik Zakat di Tahun Politik - Atmo Prawiro - www.indopos.co.id

Oleh: Dr. Atmo Prawiro (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

INDOPOS.CO.ID – Beberapa tahun terakhir, kajian tentang zakat semakin menarik diperbincangkan di ranah publik melalui media massa dan media sosial. Terlebih lagi menjelang puncak tahun politik 2024, isu zakat semakin seksi.

Dan polemik perzakatan kian mengerucut seputar sepak terjang Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan magnet yang terus menguat sebagai efek penguatan program-programnya, baik pengumpulan maupun pendistribusian dan pendayagunaan.

Sebagai lembaga resmi pemerintah yang diberikan amanat untuk mengelola dana zakat, berdasarkan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Zakat.

Sebab, mengapa lembaga ini menjadi episentrum dalam perbincangan tersebut? Ini tentu tak bisa dilepaskan dari suasana tahun politik menuju 2024.

Namun sejatinya, eksistensi BAZNAS mesti terus diperjuangkan dalam sistem dan praktik tata hukum di Indonesia sebagai lembaga pengelola zakat yang dibentuk untuk mengimplementasikan amanah konstritusi.

Terdapat beberapa argumentasi yang masih dapat dipertanggungjawabkan sampai saat ini.

Pertama, hukum wajib membayar zakat adalah bagian dari syariat Islam. Para ahli fikih sependapat bahwa kewajiban hukum zakat adalah Al-Quran, hadis dan ijma’.

Dalam perkembangannya, terkait siapakah lembaga yang berhak menarik zakat, ini secara sepesifik yang sering dijadikan dalil adalah Surat Al-Tawbah ayat:103.

Meski demikian, tafsir terhadap ayat tersebut juga masih terdapat perbedaan di antara para ulama terkait apakah pemerintah wajib menarik zakat.

Kebanyakan ulama menafsirkan bahwa zakat wajib dikelola oleh negara, karena kata “khudz” dalam ayat tersebut adalah fi’il amar yang menunjukkan “perintah” dan asal mula perintah adalah wajib (al-shlu lil amri al-wujub) atau bermakna perintah untuk mengambil atau menarik zakat dari muzaki adalah keharusan.

Artinya, bahwa ayat itu bermakna perintah kepada ulil amri untuk secara aktif mengambil zakat, bukan menunggu muzaki membayar zakat. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasūlullāh SAW, yang telah memerintahkan para sahabāt untuk mengambil zakat dari muzaki.

Ini juga dilakukan para khālifah penerus Nabi, seperti sahabat Abu Bakar RA sebagai khālifah pertama. Saat itu Abu Bakar memerangi gerakan yang menolak membayar zakat. Ini adalah simbol bahwa kewenangan menarik zakat telah dipraktikkan.

Bendasarkan pada sejarah ini pula, maka penarikan zakat tidak mungkin dapat dilakukan oleh lembaga swasta, tetapi harus dilakukan oleh instansi yang memilki otoritas dan kewenangan.

Umumnya para ulama sepakat bahwa lembaga yang menarik zakat adalah organisasi yang dibentuk pemerintah atau lembaga yang dibentuk oleh negara.

Kedua, pertimbangan aspek yuridis. Bahwa Pasal 23A UUD 1945 (setelah perubahan ketiga) berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Dalam konteks ini, zakat termasuk jenis pungutan lain yang bersifat memaksa, sedangkan infak dan sedekah tidak termasuk dalam kategori jenis pungutan lain yang bersifat memaksa, tetapi bersifat sukarela.

Kehadiran UU No. 23 Tahun 2011 tentang Zakat selaras dengan UUD 1945 di atas. Walapun terdapat pandangan bahwa “zakat perlu dipertimbangkan sebagai pengurang pajak”, namun demikian dapat disadari bahwa pengaturan pengurangan tersebut harusnya mengubah dua undang-undang sekaligus yaitu UU Zakat dan Undang-Undang Perpajakan yang tentunya masih memerlukan jalan panjang.

Keberadan UU Zakat sebagai amanat yang diemban BAZNAS baik secara sistem maupun mekanisme, kewenangannya sampai saat ini masih releven.

Terlepas masih ada kekurangan pada BAZNAS sebagai lembaga pemerintah nonstruktural (LNS) secara de facto dan de jure menurut UU Zakat memiliki peran strategis dalam mengelola zakat secara nasional, yakni pengumpulan, penyaluran, koordinasi dan pengendalian tata kelola zakat.

Meski demikian, UU Zakat tidak berarti mengenyampingkan Lembaga Amil Zakat (LAZ), justru memberikan ruang kepada masyarakat untuk membentuk Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) dalam rangka membantu BAZNAS, sesuai dengan amanah undang-undang.

Di mana dalam pengertian penulis, kehadiran LAZ secara filosofis adalah untuk lebih memperkuat daya gedor pengelolaan zakat BAZNAS sehingga menjadi optimal.

Berdasarkan hal ini pula, bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan zakat yang secara historis telah berjalan, sudah diberikan ruang sebagaimana mestiya untuk menjadi bagian dari sistem pengelolaan zakat yang menjadi satu kesatuan pengelolaan zakat secara nasional.

Ketiga, pertimbangan aspek kesejahteraan dan keadilan sosial. Bahwa instrumen zakat bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan umat. Sehingga dalam konteks ini, zakat dapat dimaknai sebagai instrumen untuk mengubah mustaḥik menjadi muzaki.

Berdasarkan hal ini pula, keberadaan Undang-Undang Zakat telah mengatur prioritas pendistribusian dan pendayagunaan, serta mengatur sistem pengelolaan zakat yang mampu memetakan mustaḥik yang sangat memerlukan dan memantau pendistribusian zakat secara adil. Sehingga kemungkinan terjadinya penumpukan pendistribusian zakat pada sekelompok atau wilayah tertentu dapat dihindari.

Oleh sebab itu, pengelolaan zakat harus ditangani secara menyatu (unified) oleh suatu lembaga yang bersifat nasional dan tidak bisa bersifat lokal di perkotaan semata.

Lembaga tersebut bertugas mengkordinasi dan melaksanakan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat secara nasional.

Berdasarkan tiga alasan di atas, maka BAZNAS harus didukung untuk terus memperkuat mengelolaan dana umat yang besar dengan dibantu oleh LAZ.

Namun demikian, catatan dan kritikan terhadap BAZNAS bersama LAZ, harus terus dibenahi dan diperbaiki, khususnya terkait risiko politisasi zakat yang harus menjadi perhatian bersama pimpinan BAZNAS dan LAZ seluruh Indonesia.

Program-program zakat yang mengutamakan prioritas asnaf sesuai dengan Al-Quran juga harus dipertimbangkan.

Oleh karena itu, keberadaan BAZNAS sebagai lembaga pelayan umat, harus mendapatkan dukungan dengan tetap menjaga kepercayaan publik, netral dalam politik dan menjunjung tinggi slogan “aman syar’i, aman regulasi dan aman NKRI”. Agar polemik dan pendulum zakat di tahun politik, selalu bergerak arah positif-konstruktif. (*)

Exit mobile version