Pakar Hukum : Praktik Kartel Tak Mungkin Terjadi di Industri Migor

Industri-Migor

Sejumlah minyak goreng kemasan dijual di supermarket. Foto : Youtube

INDOPOS.CO.ID – Kalangan akademisi yang juga pakar hukum meragukan adanya kartel minyak goreng (migor) karena profil industri sawit memiliki sektor hulu dan hilir yang berbeda-beda akan membuat perbedaan kepentingan bisnis dan strategi mereka. Selain itu, tidak ada bukti langsung (‘direct evidence’) yang menjadi landasan adanya perilaku kartel di dalam industri minyak goreng.

Demikian disampaikan dua pakar hukum, yakni Ahli Assoc Prof Dr Rio Christiawan SH MHum MKn, guru besar Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta dan Prof Ningrum Natasya Sirait, guru besar bidang Hukum Persaingan Usaha dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

“Praktik kartel tidak mungkin terjadi di industri minyak goreng nasional dalam perspektif industri kelapa sawit. Sangat kecil kemungkinan terjadi di industri sawit,” ujar Rio Christiawan.

Dia menjelaskan bahwa setiap pelaku industri kelapa sawit memiliki profil usaha upstream dan downstream yang berbeda, sehingga menyebabkan adanya perbedaan kepentingan bisnis, luasan berbeda, jumlah pabrik kelapa sawit berbeda, kapasitas produksi CPO berbeda, jumlah refinery berbeda, tanggung jawab jangka panjang seperti long term contract pada pihak ketiga juga berbeda, sehingga akan sangat sulit kemungkinan terjadinya kartel pada industri kelapa sawit.

Rio menambahkan, industri kelapa sawit merupakan industri yang masuk ke dalam regulated industry. Dalam kondisi industri teregulasi, perusahaan dapat dikatakan melawan hukum apabila melanggar regulasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam industri tersebut.

“Sepanjang tindakan yang dilakukan oleh pelaku industri kelapa sawit tersebut telah sesuai dengan regulasi pemerintah, karena dalam hal ini mekanisme pasar telah diatur oleh kebijakan pemerintah maka tidak terklasifikasi melawan hukum,” ujarnya.

Sebagai informasi, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Menurutnya, kenaikan harga minyak goreng yang terjadi pada 2021-2022 bukan atas kesepakatan antara pelaku usaha, tetapi merupakan respons bersama yang rasional menyikapi kenaikan harga CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng. Hal ini juga dapat dilihat pada produk turunan CPO selain minyak goreng yang juga mengalami kenaikan harga akibat dampak dari kenaikan harga CPO, seperti mentega.

Guru Besar USU Prof Ningrum Natasya Sirait menerangkan dugaan kartel minyak goreng dalam sidang KPPU tidak cukup berlandaskan kepada indirect evidence (bukti tidak langsung).

“Bukti tidak langsung tanpa didukung dengan bukti langsung (direct evidence) tidak dapat digunakan dalam pembuktian Pasal 5 UU Antimonopoli. Apabila tidak ditemukan adanya direct evidence, maka penggunaan indirect evidence harus sangat hati – hati dan didukung oleh analisis plus factor. Ini untuk membedakan apakah hal tersebut hanya merupakan perilaku atau strategi interdependen yang paralel atau merupakan kesepakatan penetapan harga,” katanya.

Ningrum menambahkan, indirect evidence hanya merupakan alat bukti petunjuk dalam Pasal 42 UU Antimonopoli, sehingga tidak bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti. Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 1/2019, indirect evidence adalah bukti petunjuk yang berupa bukti komunikasi dan bukti ekonomi.

“Bukti ekonomi misalnya berupa kenaikan harga bersama, dengan melihat apakah itu disebabkan oleh faktor eksternal atau karena kesepakatan. Apabila para pelaku usaha ternyata menggunakan bahan baku yang sama, kemudian ada kenaikan harga bahan baku, otomatis mereka juga akan menaikkan harga, hal itu bukan karena kesepakatan. OECD dalam pedomannya juga sudah memberikan warning agar price parallelism perlu dilengkapi analisa plus factor sehingga tidak keliru ” jelas Ningrum saat menjadi Ahli dari pihak Terlapor dalam Pemeriksaan Lanjutan atas perkara minyak goreng KPPU, pekan lalu.

Ningrum melanjutkan, indirect evidence berupa bukti komunikasi harus memperhatikan kualitas buktinya. Selain itu, yang terpenting adalah membuktikan adanya pelaksanaan dari komunikasi tersebut. Petunjuk hanya satu alat bukti dalam perkara kartel dan tidak dapat berdiri sendiri. Karena itu, harus dilengkapi dengan bukti lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Nomor 5/1999, ada lima alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian kartel, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk; dan keterangan pelaku usaha.

“Jadi, indirect evidence itu tidak cukup membuktikan kartel, harus ditambah dengan bukti lain dalam Pasal 42,” pungkas Ningrum. (ibs)

Exit mobile version