INDOPOS.CO.ID – Menyikapi polemik terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law, Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PP PERABOI) mengajak DPR RI meninjau ulang beberapa poin penting dalam pembahasan RUU tersebut.
“Kami tidak menolak perubahan yang bertujuan untuk peningkatan pelayanan kesehatan,” kata Ketua Umum PP PERABOI Walta Gautam dalam keterangan, Minggu (30/4/2023).
Namun, menurut dia, dalam RUU Kesehatan tersebut ada beberapa hal yang berisiko secara langsung dan tidak langsung terhadap pelayanan dokter kepada pasien. Di antaranya tentang percepatan pemenuhan dokter subspesialis melalui program pendidikan berbasis rumah sakit.
“Dengan diangkatnya kanker sebagai layanan prioritas, maka dibutuhkan percepatan pemenuhan dokter spesialis dan subspesialis yang menangani kanker,” katanya.
“Apalagi jumlah pasien kanker padat yang naik setiap tahun masih belum sebanding dengan jumlah dokter ahli Bedah Onkologi yang kurang dari 300 orang di seluruh Indonesia,” imbuhnya.
Tetapi, lanjut dia, rencana pendidikan dokter spesialis dan subspesialis berbasis rumah sakit berpotensi merugikan masyarakat. Apalagi dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa kajian yang mendalam dan perencanaan yang matang,” ungkapnya.
Ia menyebut, beban rumah sakit pada pelayanan dan keselamatan pasien sangat besar. Beban tambahan untuk mendidik dokter spesialis dan subspesialis berpotensi menurunkan kualitas pelayanan, menurunkan kualitas dokter yang dihasilkan dan berpotensi merugikan masyarakat.
“Mendidik dokter spesialis dan subspesialis tidaklah seperti memproduksi barang. Tidak cukup dengan memperbanyak fasilitas pendidikan, tapi juga harus ditunjang dengan kurikulum yang matang dan kualitas tenaga pendidik yang baik,” ujarnya.
Lebih jauh ia menambahkan, muncul keresahan di kalangan dokter terkait kepastian hukum bagi dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam beberapa pasal pemerintah memberikan perlindungan hukum, tetapi masih ada peluang para dokter dalam menjalankan profesinya akan mengalami kondisi penuntutan berlapis yang tertuang dalam DIM RUU Omnibus Law Kesehatan.
“Ini akan berpotensi berkembangnya praktik defensive medicine dan akan merugikan pasien,” ucapnya.
Sebab, lanjut dia, penyelenggaraan praktik kedokteran selalu mendasarkan pada empat kaidah dasar moral yaitu menghormati martabat manusia (respect for person), berbuat baik (beneficience), tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence), dan keadilan (justice).
“Pelayanan kasus kanker padat yang melibatkan pembedahan berisiko menimbulkan disfigurasi atau kecacatan. Tanpa adanya kepastian perlindungan hukum, ada potensi dokter dituntut pasien yang merasa tidak puas dengan hasil pembedahan,” katanya.
“Kemungkinan adanya tuntutan berlapis mulai dari permintaan ganti rugi, tuntutan pidana dan perdata seperti yang diakomodir dalam pasal 283 RUU Omnibus Law Kesehatan akan menimbulkan praktik defensive medicine,” imbuhnya. (nas)