Gugatan Kewenangan Kejaksaan Adalah Upaya Menghambat Pemberantasan Korupsi

Gugatan Kewenangan Kejaksaan Adalah Upaya Menghambat Pemberantasan Korupsi - ketut - www.indopos.co.id

Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana. (Puspenkum Kejagung)

INDOPOS.CO.ID – Jaksa Agung ST Burhanuddin mengingatkan seluruh pegawai Kejaksaan bahwa dalam menangani perkara korupsi, baik di tingkat daerah maupun pusat, harus dilakukan dengan objektif, transparan, berkelanjutan, dan yang terpenting, tanpa pilih kasih dan konsisten.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Kejaksaan akan selalu berdampak pada persepsi dan ketidakpuasan terhadap institusi tersebut.

“Oleh karena itu, para koruptor akan menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi, baik melalui penawaran imbalan materiil maupun imbalan non-materiil, bahkan dengan ancaman fisik,” katanya dalam keterangan yang diterima INDOPOS.CO.ID, Minggu (14/5/2023).

Selain itu, ia menjelaskan bahwa para koruptor juga selalu berusaha secara aktif melemahkan Korps Adyaksa dengan menggugat kewenangan Aparat Penegak Hukum, seperti mengajukan uji materiil terhadap undang-undang Kejaksaan yang mengatur kewenangan penyidikan, termasuk kewenangan lain yang sangat penting dalam penegakan hukum.

“Gugatan atas kewenangan penyidikan Kejaksaan telah dilakukan berulang kali, salah satunya setelah disahkannya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, penggugat melupakan kapasitas Jaksa dimana kewenangan Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi tidak hanya diatur dalam undang-undang Kejaksaan saja, namun juga terdapat pada undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, undang-undang tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

“Dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Kejaksaan memiliki kewenangan sebagai penyidik. Kejaksaan telah memiliki sejarah panjang dalam penyidikan perkara mega korupsi, salah satunya pernah menjadi Koordinator Penyidik Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) pada 1998 silam,” ungkapnya.

Dia pun menuturkan, Jika dikaitkan dengan prinsip diferensiasi fungsional, hal tersebut sangat tidak konsisten dan bahkan bertentangan dengan prinsip reformasi penegakan hukum. Misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang memiliki fungsi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi, diintegrasikan dalam satu entitas, melanggar prinsip diferensiasi fungsional yang diatur dalam undang-undang.

“Ketika gugatan tersebut menyentuh masalah diferensiasi fungsional, sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP yang mengatur pemisahan kewenangan di masing-masing lembaga, seperti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, hal ini menimbulkan keraguan dan membingungkan peran sebenarnya sebagai penegak hukum modern yang seharusnya memiliki fungsi koordinasi, sinergi, dan kolaborasi,” tuturnya.

Masih kata Ketut, dia menegaskan gugatan-gugatan tersebut telah melampaui batas dalam konteks penegakan hukum modern dan melanggar konstitusi, karena tidak ada lembaga yang memiliki kewenangan mutlak dalam penegakan hukum, termasuk Jaksa sebagai dominus litis atau pihak yang mengendalikan perkara.

“Jaksa juga memiliki fungsi koordinasi dengan penyidik dan melakukan pengawasan terhadap proses hukum di pengadilan maupun lembaga pemasyarakatan,” tegasnya.

Dia menekankan, tugas dan kewenangan Kejaksaan meliputi penanganan perkara dari awal hingga akhir, serta memastikan penyelidikan dari berbagai institusi berjalan dengan baik, sehingga menghasilkan penuntutan dan proses pembuktian yang efektif. Bahkan dalam proses pengajuan upaya hukum biasa maupun luar biasa, Kejaksaan bertanggung jawab sebagai Penuntut Umum dan Jaksa, termasuk pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pidana yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).

“Namun, terjadi kesalahan dengan memisahkan proses penyidikan berdasarkan prinsip diferensiasi fungsional, yang justru membatasi fungsi masing-masing lembaga dan mengurangi sinergi serta kolaborasi dalam penanganan perkara. Hal ini menyebabkan keberulangan perkara, menciptakan ketidakpastian dalam penegakan hukum, dan menyebabkan masyarakat tidak merasakan manfaat dari penegakan hukum,” pungkasnya.

Dia juga mengatakan, apabila gugatan untuk melemahkan Aparat Penegak Hukum tersebut dikabulkan, maka hal ini bertentangan dengan semangat Kejaksaan dalam penanganan perkara mega korupsi yang menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah, seperti PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, PT Garuda Indonesia, minyak goreng, Duta Palma, PT Waskita Karya, impor garam, impor tekstil.

“Oleh karena itu, perlu diungkapkan bahwa kepentingan dan perlawanan para koruptor bukan hanya merupakan ancaman terhadap penegak hukum, tetapi juga menghambat upaya pemberantasan korupsi itu sendiri,” tutupnya. (fer)

Exit mobile version