Tuntut Stop Dukungan Energi Fosil, Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Aksi Damai di Depan Gedung Kedubes Jepang

Tuntut Stop Dukungan Energi Fosil, Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Aksi Damai di Depan Gedung Kedubes Jepang - aksi - www.indopos.co.id

Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Aksi Damai di Depan Gedung Kedubes Jepang. (Aktivis team Lead 350 Indonesia)

INDOPOS.CO.ID – Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Aksi Damai sebagai bagian dari momentum penyelenggaraan G7 di Hiroshima, Jepang. Di depan Kedutaan Besar Jepang.

Dalam aksi ini, mereka mengajukan permohonan kepada negara-negara G7 agar segera menghentikan dukungan keuangan terhadap energi fosil dan solusi palsu dalam transisi energi.

Koordinator Aktivis team Lead 350 Indonesia, Sisila Nurmala Dewi mengatakan seruan ini secara khusus ditujukan kepada pemerintah Jepang sebagai tuan rumah G7 kali ini. Dalam aksi ini, para aktivis mengenakan kostum seragam sekolah Jepang sebagai simbol perlawanan anak muda terhadap krisis iklim yang tidak ingin menyerah.

“Seharusnya negara-negara G7 menghentikan dukungan pendanaan untuk solusi palsu dalam skema transisi energi di Indonesia, seperti JETP, AZEC, atau yang lainnya. Jika pendanaan transisi energi malah mendukung solusi palsu, maka transisi energi di negara ini berpotensi terhambat atau bahkan gagal. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa skema pembiayaan transisi energi tidak mendukung solusi palsu, agar transisi energi di Indonesia dapat berjalan dengan lancar dan berhasil,” katanya Jumat (19/5/2023).

Menurutnya, rakyat Indonesia perlu memastikan bahwa skema pembiayaan seperti JETP, AZEC, dan lainnya benar-benar mendorong transisi energi yang bersih, adil, dan lestari. Pembiayaan solusi palsu hanya akan menghambat upaya transisi energi di Indonesia dan memperburuk krisis iklim.

“Aksi ini adalah bagian dari gerakan global yang menuntut agar negara-negara G7 lebih serius dalam komitmennya terhadap transisi energi yang adil. Kelemahan tersebut terlihat dari berbagai pernyataan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida yang aktif mempromosikan teknologi co-firing amonia dan hidrogen untuk membenarkan penggunaan berkelanjutan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas setelah tahun 2030,” ungkapnya.

Laporan terbaru menunjukkan bahwa anggota G7 masih mengalokasikan pendanaan sebesar 73 miliar USD untuk energi fosil dalam periode 2020 dan 2022, yang merupakan 2,6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pendanaan untuk energi terbarukan yang hanya mencapai 28,6 miliar USD dalam periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen anggota G7 untuk mengurangi penggunaan dan pendanaan energi fosil seperti gas masih kurang kuat.

“Contoh pada usulan Kementerian ESDM agar pembangkit listrik berbahan LNG untuk menggantikan pembangkit listrik dari diesel untuk didanai oleh JETP harus ditolak oleh negara-negara G7 sebagai donornya,” pungkasnya.

Senada dikatakan, Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri mengatakan negara-negara G7 harus memastikan Indonesia pada jalur energi terbarukan yang sebenarnya. Mengabulkan dan memberi nafas panjang pada energi fosil seperti usulan Kementerian ESDM untuk gasifikasi, co-firing, amonia atau hidrogen, artinya transisi energi menemui kegagalan.” Lanjut Novita

“Selain menghentikan solusi palsu dalam skema pendanaan transisi energi seperti JETP, negara-negara G7 harus memperbesar komposisi hibah daripada utang dalam skema pendanaan transisi energi di Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, Juru Kampanye Walhi, Abdul Ghofar memaparkan negara-negara G7 sebagai negara maju memiliki rekam dan sejarah jejak karbon yang lebih besar daripada negara-negara berkembang seperti Indonesia, maka tidak seharusnya mereka membuat jebakan utang baru kepada negara-negara berkembang atas nama pembiayaan transisi energi.

“Saat ini untuk membayar utang luar negeri dari negara maju dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB (Asian Development Bank), pemerintah Indonesia masih bergantung pada corak produksi ekstraktif, itu artinya kerusakan lingkungan dan pelepasan emisi karbon skala besar masih akan terus terjadi,” paparnya.

Dia pun menekankan, Keselamatan anak-anak muda di seluruh dunia akan terancam jika negara-negara kaya anggota G7 membuat keputusan yang salah dan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Jawabannya sudah jelas bahwa kita harus segera menghentikan penggunaan energi fosil seperti batu bara, gas, minyak, nuklir, atau solusi palsu lainnya.

“Pilihan energi terbarukan sudah tersedia dan harganya terjangkau. Komitmen untuk menghentikan penggunaan batu bara pada tahun 2030 harus dilakukan,” tutupnya. (fer)

Exit mobile version