Menuju NZE, Setahun Sawit Serap 25 Ton CO2, Pohon Lain Cuman 6 Ton

nze

Diskusi Virtual Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertemakan ’Kontribusi Industri Sawit Terhadap Net Zero Emissions Indonesia’, Jakarta, Rabu (24/5/2023). Foto : Arman/Indopos.co.id

INDOPOS.CO.ID – Pemerintah Indonesia mengajak stakeholder atau pemangku kepentingan terkait untuk mendukung pencapaian target Net Zero Emissions (NZE) atau Nol Emisi Karbon pada 2060 atau lebih cepat. Kelapa sawit termasuk sektor industri komoditas agro yang mendukung penyerapan emisi karbon dan program NZE.

”Kelapa sawit ini membantu penyerapan emisi karbon. Dalam berbagai literatur, tanaman ini menyerap karbon lebih besar dibandingkan tanaman lain,” ujar Dr Dadan Kusdiana, dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM RI saat menjadi Keynote Speaker dalam Diskusi Virtual Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertemakan ’Kontribusi Industri Sawit Terhadap Net Zero Emissions Indonesia’, Jakarta, Rabu (24/5/2023).

Pembicara lain dalam diskusi ini antara lain Director of Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB University Dr Meika Syahbana Rusli, Subkoordinator Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) RI Dwimas Suryanata Nugraha SH MH, dan Direktur Tunas Sawa Erma (TSE) Group Luwy Leunufna.

Dalam presentasinya, Dadan menguraikan pohon kelapa sawit mampu menyerap 25 ton CO2 per tahun, sedangkan pohon lainnya hanya sebesar enam ton CO2 per tahun. Karena itulah, tanaman kelapa sawit merupakan penyerap CO2 sama dengan tanaman lain seperti tanaman kayu hutan.

Selanjutnya mengutip data Henson (1999), dalam proses fotosintesis kelapa sawit menyerap sekitar 161 ton CO2 per ha per tahun. Bila dikurangi CO2 proses respirasi, maka secara netto, kelapa sawit mampu menyerap CO2 sebesar 64,5 ton CO2 per tahun. Kontribusi sawit menekan emisi karbon sudah diwujudkan melalui implementasi program Mandatori Biodiesel.

Dadan mengatakan, Indonesia saat ini menjadi negara terbesar dalam penggunaan biodiesel dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia.

“Kita akan terus tingkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati ini baik dalam bentuk biodiesel maupun dalam bentuk bio yang lain, bahan bakar bio yang lain misalkan bioetanol itu juga bisa dibuat atau misalkan juga nanti bisa biogas,” ucap yang pernah mengenyam Strata-2 dan 3 di Kyoto University, Jepang.

Dadan dalam presentasinya menguraikan pula bahwa penggantian bahan bakar mesin diesel dari minyak solar ke biodiesel dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 50 persen – 60 persen. Berdasarkan kajian European Commissioning Joint Research Center, apabila biodiesel dihasilkan dari PKS dengan methane capture POME dapat menurunkan emisi sampai dengan 62 persen.

Saat ini, lanjut Dadan, pemerintah tengah mendorong pendekatan teknologi untuk mengkonversi minyak nabati, misalkan sawit langsung menjadi bensin atau langsung menjadi solar.

“Jadi ke depan terkait dengan pemanfaatan bioenergy, khususnya yang akan dimanfaatkan secara maksimal baik itu dalam bentuk bahan bakar nabati yang sifatnya cair maupun dalam bentuk biogas untuk mengolah limbah-limbah cairnya yang masih organik. Dapat pula dimanfaatkan juga yang bentuknya padat atau biomassa misalkan pohon, tandan dan fiber yang jumlahnya cukup besar,” ujar pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat itu.

Industri sawit menyambut baik ajakan pemerintah untuk menekan emisi karbon dan mencapai target nol emisi karbon. Tunas Sawa Erma satu perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit yang beroperasi di Papua, belum lama ini menyampaikan komitmennya untuk menyumbang kontribusi dalam upaya global mencapai NZE sampai dengan 2050.

Direktur Tunas Sawa Erma Group Luwy Leunufna mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk mengikuti semua aturan dan ketentuan pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam, TSE Group menyadari pentingnya berkontribusi dalam upaya untuk atau upaya global untuk mencapai NZE.

Sebagai wujud nyata komitmen tersebut, TSE Group menggunakan Science Based Targets initiative (SBTi) sebagai standar untuk menetapkan target net zero emissions. SBTi adalah inisiatif untuk mengembangkan dan mempromosikan metodologi ilmiah dalam rangka menetapkan target emisi sesuai dengan Perjanjian Paris.

Dengan menggunakan SBTi, TSE Group akan menetapkan target emisi dan hal-hal yang dibutuhkan untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5°C. TSE Group kemudian akan melaporkan kemajuan secara transparan dan konsisten melalui platform SBTi maupun mekanisme lain yang relevan.

“Kami akan menyusun near-term dan long-term target emisi kami dalam waktu 2 tahun ke depan. Target-target ini akan mencakup seluruh aktivitas operasional dan rantai pasokan kami, serta memperhitungkan potensi penyerapan karbon dari lahan dan hutan yang kami kelola,” ucap Luwy.

Sebagai informasi, pada 23 September 2022, Pemerintah Indonesia mengumumkan Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC)-nya sebesar 31.89 persen dan 43.20 persen kepada UNFCC.

Luwy menjelaskan, TSE Group mendukung upaya pemerintah mencapai NDC dan siap berkolaborasi untuk mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon. Saat ini, TSE Group akan membangun pembangkit listrik tenaga biogas untuk berkontribusi pada pengurangan gas rumah kaca dengan mencegah pelepasan gas metana ke atmosfer. Kapasitas listrik pembangkit ini mencapai 8 MW yang dibangun sampai 2030. “Kami berencana memanfaatkan listrik dan gas yang dihasilkan dapat digunakan penduduk setempat untuk meningkatkan kualitas hidup,” ujar Luwy.

Langkah berikutnya, perusahaan mengurangi penggunaan pupuk kimia yang mengeluarkan nitrogen oksida selama proses produksi dan penggunaannya. TSE Group mencari cara untuk menggantikan pupuk kimia dengan pupuk organik dari tandan kosong dan cangkang sawit –produk sampingan dari pabrik kelapa sawit.

Luwy mengatakan, TSE Group membeli fasilitas dan sedang melakukan penelitian untuk memproduksi biochar. Biochar adalah bentuk karbon yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama melalui proses pirolisis produk sampingan nabati yang diproduksi dalam jumlah besar di perkebunan kelapa sawit.

Direktur Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB Meika Syahbana Rusli mengatakan, sawit mampu secara signifikan menyerap CO2 yang ada di atmosfer.

“Jadi kalau kita mensubtitusi solar yang semata-mata memproduksi gas rumah kaca atau CO2, subtitusi tersebut membuat pengurangan signifikan karena diserap oleh kebun-kebun sawit yang tumbuh,” pungkasnya.

Sebagai contoh seiring meningkatan konsumsi biodiesel pada 2016-2021 terjadi penurunan emisi pada 2020 sebesar 22,48 persen dan di 2021 diproyeksikan 25,43 persen. “Jika dibandingkan dengan diesel fuel, maka angkanya sekitar 22 persen tahun 2021,” katanya.

Di tempat yang sama, Subkoordinator Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementan Dwimas Suryanata Nugraha mengatakan, perkebunan sawit tidak bisa dikatakan sepenuhnya penyebab dari kenaikan gas rumah kaca.

“Banyak isu yang timbul di masyarakat ini terkait dengan sawit ini salah satu penyebab sawit deforestasi lahan dan penyebab kenaikan emisi gas rumah kaca. Perkebunan kelapa sawit ini tidak bisa juga dikatakan penyebab dari kenaikan gas rumah kaca,” pungkasnya. (aro)

Exit mobile version