Tak Ada Keberpihakan Pemerintah, YLKI: Arah Kebijakan Kendalikan Rokok Belum Jelas

Puntung-Rokok

ilustrasi rokok (dokumen INDOPOS.CO.ID)

INDOPOS.CO.ID – Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, setiap 31 Mei di seluruh dunia diperingati sebagai World No Tobacco Day, atau Hari Tanpa Tembakau Se Dunia (HTTS). Mengusung tema We Need Nutrition, not Addiction, peringatan HTTS tahun ini sangat relevan dengan fenomena di Indonesia.

Menurut dia, mayoritas rumah tangga miskin justru lebih banyak mengalokasikan pendapatannya untuk membeli rokok, bukan untuk membeli bahan makanan pokok. “Arah kebijakan pemerintah belum jelas, untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan rumah tangga miskin dan anak anak remaja,” kata Tulus dalam keterangan, Rabu (31/5/2023).

Menurut dia, hal itu terbukti secara politis justru terjadi turbulensi dalam pengendalian tembakau oleh pemerintah dalam 3-4 tahun terakhir ini. Janji Presiden Jokowi yang akan mengamandemen PP 109/2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau sbg Zat Adiktif gagal total hingga sekarang.

“Padahal upaya untuk amandemen sudah dituangkan dalam sebuah Perpres (2018), dan juga Keppres No 25/2022. Hingga kini upaya mengamandemen PP mangkrak,” katanya.

“Apalagi memasuki tahun politik, upaya untuk mengamandemen PP 109/2012 akan makin musykil, bak sebuah mimpi di siang bolong,” imbuhnya.

Padahal, lanjut dia, amandemen PP 109/2012 menjadi kebutuhan mendesak. Mengingat konsumsi tembakau/ rokok makin eskalatif. Jumlah perokok dewasa mencapai 35 persen dari total populasi.

“Dan prevalensi merokok pada anak anak mencapai 9,1 persen. Angka ini akan terus bertambah, jika pemerintah terus melakukan pembiaran dalam pengendalian konsumsi rokok,” ungkapnya.

Ia meminta ada keberpihakan pemerintah dalam pengendalian tembakau . Janganlah masa depan remaja dan anak anak digadaikan untuk kepentingan industri rokok dan kepentingan jangka pendek lainnya (pemilu).

“Cuan yang diperoleh dari industri rokok adalah tak seberapa ketimbang nilai investasi bagi kepentingan dan masa depan generasi muda yang diimpikan sebagai generasi emas,” katanya.

“Bukan generasi emas yang akan dicapai, tapi justru “generasi cemas”, karena digelayuti berbagai penyakit degeneratif yang sangat serius,” imbuhnya. (nas)

Exit mobile version