Agama dan Politik di Indonesia

Petrus-Loyani

Petrus Loyani SH., MH., MBA in Banking. Foto: Dokumen AHBI.

Oleh : Petrus Loyani SH., MH., MBA in Banking

INDOPOS.CO.ID – Tulisan Nurman Diah dengan tagline “quo vadis Indonesia?” yang baru saja dibagikan oleh rekan Anthony Budiawan membuat saya merespons satu titik penting yang dianggap sebagai penyebab utama ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan India, Singapura, dan Vietnam, serta perilaku produsen anak dan kebohongan di kalangan penguasa.

Menurut pandangan saya, faktor utama yang mendasari para penguasa Indonesia menjadi produsen anak dan kebohongan serta rakyat yang cenderung menerima hal tersebut adalah karena mayoritas rakyat Indonesia memiliki ketergantungan pada agama.

Keadaan pengetahuan yang terpengaruh oleh ketergantungan agama dianggap lebih merugikan dibandingkan dengan ketergantungan narkoba, karena efek samping dari otak yang terpengaruh agama mencakup ketidakmampuan berpikir rasional.

Sebagai akibatnya, penguasa Indonesia merasa nyaman jika rakyatnya kurang kritis, memungkinkan mereka untuk lebih mudah memanipulasi kebijakan publik melalui strategi tipu-tipu.

Saya setuju dengan pandangan bahwa pernyataan Rocky Gerung mengenai penjualan IKN kepada China dan perilaku penguasa yang menggunakan strategi tipu-tipu sebagai perilaku tidak bermoral.

Namun, saya melihat pernyataan tersebut lebih sebagai metafora terhadap perilaku politik penguasa yang mengabaikan moralitas dan keadilan sosial yang dianut oleh falsafah Pancasila.

Kehadiran penguasa yang tidak bermoral seperti ini menjadi hambatan bagi kemajuan Indonesia dalam bidang budaya, ekonomi, ilmu, dan teknologi.

Harapan negara ini sebenarnya terletak pada sekelompok individu yang tidak terjebak dalam ketergantungan agama, memiliki pemikiran independen, dan kecerdasan yang sehat.

Contoh tokoh-tokoh seperti Anthony Budiawan, Rizal Ramli, Faisal Basri, serta beberapa orang lainnya dapat menjadi pionir perubahan.

Meskipun jumlah dan sumber daya mereka terbatas, mereka memiliki peran penting dalam melawan kebohongan dan strategi tipu-tipu yang dilakukan oleh penguasa.

Perjuangan mereka adalah sebuah tugas yang sulit dan berisiko, mengingat selain keterbatasan jumlah dan sumber daya, mereka harus membangun ulang negara yang telah mengalami kerusakan di berbagai bidang.

Oleh karena itu, mereka diharapkan memiliki keberanian yang sebanding dengan peran para pendiri bangsa yang berjuang membangun negara ini dari awal. (fer)

Exit mobile version