INDOPOS.CO.ID – Direktur eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Zaenal A Budiyono mengatakan bahwa kampanye di kampus bisa lebih dimengerti, mengingat di beberapa negara demokrasi, kampus menjadi tempat bagi kandidat untuk berkompetisi dalam gagasan politik. Namun, kampanye di sekolah mungkin lebih rumit, terutama karena sebagian besar siswa masih di bawah umur.
“Meskipun di tingkat menengah atas sulit karena siswa masih beragam usianya. Saya rasa sebaiknya fokus pada kampanye di kampus, mengingat kondisi di sekolah bisa sulit, terutama di kota,” katanya kepada INDOPOS.CO.ID, Kamis (24/8/2023).
Dia menekankan, penting diingat bahwa lokasi kampanye tidak langsung mempengaruhi hasil suara, mengingat pemilih di Indonesia saat ini cenderung rasional, termasuk swing voters.
“Yang lebih penting adalah program yang ditawarkan, realistis, dan memiliki basis massa. Kampanye di sekolah juga berpotensi melanggar aturan, mengingat jumlah sekolah yang sangat banyak,” tegasnya.
Dia menjelaskan, kontrol yang tepat perlu diterapkan untuk memastikan aturan diikuti dengan pembatasan di kampus, kemungkinan orang-orang yang terlibat di dunia kampus sudah lebih terdidik, sementara di sekolah, siswa mungkin belum memiliki kemandirian yang cukup.
“Jadi bagaimana mengontrol itu atau kontestan bisa mentaati itu. Kalau yang dibatasi dikampus saya kira orang-orang itu pasti terdidik tetapi kalau di sekolah saya kira belum bisa bersikap independen,” pungkasnya. (fer)