INDOPOS.CO.ID – Analis politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting tidak sepakat Mahkamah Konstitusi (MK) ditarik-tarik dalam ranah politik praktis. Hal itu seraya merespons upaya mengubah peryaratan usia calon presiden dan wakil presiden (capres/cawapres) melalui uji materi di MK.
Sebab, tugas MK membahas isu konstitusional bukan isu politik. MK tidak boleh melakukan kooptasi masalah politik, karena bukan merupakan wilayah kewenangannya.
“Fenomena judikasi politik yang dilakukan MK sama saja dengan mematikan iklim demokrasi di Indonesia,” kata Ginting dalam keterangannya dikutip di Jakarta, Senin (16/10/2023).
Maka MK tidak punya wewenang mengubah batas usia capres/cawapres. Serahkan saja kepada pembuat undang-undang untuk mengaturnya. Proses mengubah aturan hanya dapat dilakukan lewat lembaga legislatif.
Aturan pembatasan usia minimal capres/cawapres tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Pasal tersebut berbunyi: “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
“Tidak ada pelanggaran konstitusi di situ. Jadi MK haram untuk membatalkan maupun mengubah sebuah aturan soal syarat usia capres/cawapres, sebab tidak ada pelanggaran konstitusi dalam aturan itu,” imbuh Ginting.
MK bakal menggelar sidang putusan judicial review atau uji materi Undang-Undang (UU) Pemilu, terkait batas usia minimum dan maksimum calon presiden serta wakil presiden.
Berdasarkan informasi yang tercatat di laman resmi MK, hakim konstitusi akan menggelar sidang pengucapan putusan di Gedung MK, pada pekan depan.
“Senin (16/10/2023), pukul 10.00 WIB. Pengucapan putusan,” ucap laman resmi MK, Jakarta, Selasa (10/10/2023).
Para pemohon mengajukan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam Pasal tersebut diatur soal batas usia minimum capres-cawapres yaitu, berumur 40 tahun. (dan)