INDOPOS.CO.ID – Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung pertanian ramah lingkungan, Kementerian Pertanian (Kementan) akan berkolaborasi dengan perguruan tinggi serta pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan terobosan dalam melahirkan klinik hortikultura yang mampu menghasilkan pupuk organik Trichokompos dan bahan pengendali OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) ramah lingkungan.
Langkah ini diambil dalam rangka pengembangan program “Kampung Perlindungan Hortikultura Ramah Lingkungan” yang dicanangkan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Hortikultura Kementan.
Pelaksana tugas (Plt.) Menteri Pertanian Arief Prasetyo Adi, di berbagai kesempatan menyampaikan, sektor pertanian merupakan komponen ekonomi negara yang sangat penting dan strategis.
“Kita harus mengurangi secara berkala importasi, dan kita harus mampu mendorong ekspor. Indonesia bisa jadi produsen pangan dan sumber pangan Dunia,” tegasnya.
Tak bisa dimungkiri, Masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) telah lama mendambakan pemulihan kesuburan tanah dan kesehatan lingkungan melalui penggunaan input ramah lingkungan dan lestari.
Senada dengan Plt. Mentan, Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto mengakui pengelolaan lahan pertanian saat ini memang banyak menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia yang tinggi sehingga dapat berimplikasi pada menurunkan kualitas tanah dan berdampak pada produk hortikultura.
Plt. Sekretaris Jenderal Kementan itu juga tak menampik jika program kampung hortikultura berbasis ramah lingkungan sangat bagus.
“Rakyat Indonesia harus mengonsumsi sayur, buah, tanaman obat sebagai bahan baku herbal yang tidak tercemar residu. Ini penting, karena sumber utama penyakit adalah pola makan yang tidak sehat. Apalagi untuk ekspor hortikultura, wajib tidak boleh melewati Batas Maksimal Residu (BMR),” ujar Anton, sapaan karib Prihasto Setyanto.
Direktur Perlindungan Hortikultura Jekvy Hendra menyatakan, Sumatera Barat memiliki peran strategis dalam mewujudkan pertanian yang berkelanjutan, terutama praktik budidaya ramah lingkungan, rendah residu pestisida.
“Dulu di Sumbar ini ada satu wilayah yang terkenal sebagai lembah tengkorak, karena tingginya pestisida kimia. Nah image ini harus kita ubah menjadi Lembah surga yang hasil produksinya rendah residu pestisida dengan menggunakan bahan pengendali ramah lingkungan seperti menggunakan Tricoderma, PGPR, trichokompos, dan lain-lain,” terangnya, seperti dikutip, Senin (23/10/2023).
Selain itu, Kementan berencana untuk merevitalisasi klinik hortikultura yang berfokus pada konsep perlindungan hortikultura ramah lingkungan. Pengembangan klinik Pengendalian Hama Terpadu (PHT) ini akan berkolaborasi aktif dengan Universitas Andalas sebagai mitra andal dalam implementasi program tersebut.
Kendati demikian, Kementan juga menekankan pentingnya dukungan dari para pemangku kepentingan, termasuk dinas pertanian, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), serta petani milenial. Klinik ini dirancang tidak hanya untuk menghasilkan produk ramah lingkungan, tetapi juga memberikan potensi peningkatan kesejahteraan petani bagi kelompoknya melalui produk yang dihasilkan.
Dengan adanya klinik hortikultura yang berfokus pada budidaya ramah lingkungan dan produksi sehat, diharapkan bahwa model ini dapat direplikasi di sekitar 146 klinik PHT di seluruh Indonesia. Kolaborasi ini menjadi langkah penting dalam mendukung pertanian berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup petani.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Gaduik Nan Limo Sakato Yanuar, mengapresiasi langkah nyata Kementan yang turun tangan mengedukasi petani dalam pembuatan Trichokompos, PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria), dan Trichoderma.
“Alhamdulillah kami dapat bantuan klinik PHT dari Ditjen Hortikultura Kementan, jadi kami bisa memproduksi sendiri Ecoenzym, PGPR, Differential Diagnosis (DD) bakteri, Photosintesis Bakteri (PSB), Jakaba (jamur keabadian), Trichoderma, dan Beauveria bassiana. Nah ini betul-betul luar biasa, karena hasilnya langsung terasa manfaatnya. Kami sangat terbantu karena mengurangi biaya produksi,” tuturnya. (fer)