INDOPOS.CO.ID – Meskipun aturan hukum bidang pertanahan sudah cukup banyak, namun persoalan pertanahan tidak kunjung menyusut. Bahkan, secara kuantitatif, jumlah sengketa atau konflik pertanahan terus meningkat.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat pada periode 2018-2020 terjadi 8.625 kasus sengketa dan konflik pertanahan.
Dari jumlah itu, 63,5 persen atau 5.470 kasus yang berhasil diselesaikan oleh Kementerian ATR/BPN. Kendati cukup mencengangkan, jumlah sengketa atau konflik pertanahan yang dicatat Kementerian ATR/BPN tersebut sebetulnya hanya fenomena gunung es (iceberg phenomena), belum mencakup keseluruhan persoalan pertanahan yang sesungguhnya.
Ahmed Kurnia Soeriawidjaja, ketua umum Yayasan Pengawal Etika Nusantara (Yapena) mengatakan, salah satu penyebab masalah pertanahan tersebut menjadi semakin berat adalah karena adanya mafia tanah yang menyerobot fungsi-fungsi birokrasi pertanahan dari hulu sampai hilir.
Pemerintah sendiri sudah menempuh berbagai macam cara untuk menindak dan mengatasi kemunculan mafia tanah tersebut, terakhir dengan adanya Satgas Antimafia Tanah.
“Dari banyak suara yang sampai kepada telinga Yapena dan disertai analisis, investigasi, serta konfirmasi di lapangan, ditemukan bahwa sejumlah masalah tanah susah diselesaikan karena melibatkan oknum internal birokrasi pada masa lalu dan kuatnya cengkeraman pengembang besar yang telah mengkooptasi oknum-oknum tertentu,” ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) pada Rabu, (8/11/2023) di SunBreeze, Jakarta Selatan.
Di sisi lain, lanjutnya, dengan pelibatan makin banyak pihak dan peranan teknologi informasi dewasa ini, sengketa atau konflik pertanahan makin kompleks.
Ahmed menambahkan, meningkatnya kompleksitas sengketa atau konflik pertanahan, akan menyebabkan persoalan pertanahan makin sulit diselesaikan, baik melalui prosedur administrasi pemerintahan in casu Kementerian ATR/BPN, maupun melalui proses hukum di lembaga peradilan (yudisial).
“Setelah melakukan diskusi secara internal kepada berbagai pihak dari korban mafia tanah, pejabat, pengajar, pakar, ahli hukum, advokat, hakim, aktivis, komisioner, tokoh, dan masyarakat yang memiliki perhatian besar pada penyelesaian masalah pertanahan, maka Yapena menghimpun gagasan dari banyak pihak mengenai urgensi terbentuknya Komisi Agraria Nasional (KAN),” jelasnya.
Komisi ini, kata Ahmed, diharapkan membawa wibawa integritas, kompetensi, solutif, dan koordinatif dalam upaya saling dukung membantu menyelesaikan masalah-masalah pertanahan.
Ahmed menambahkan, untuk mengatasi makin komplikasi dan rumitnya persoalan pertanahan ini, paling tidak perlu dilakukan dua langkah. Pertama, penyederhanaan (shortcutting) mekanisme penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan.
Kedua, mengefektifkan wewenang dan fungsi negara in casu pemerintah bidang pertanahan agar persoalan pertanahan tidak menjadi permainan berbagai instansi. Nah, kedua hal tersebut dapat diwadahi dengan membentuk KAN.
Ahmed mengatakan, upaya mewujudkan gagasan membentuk KAN ini bisa dimulai dari brainstorming (padu gagasan) tentang urgensi, bentuk, dan kewenangannya. Untuk itu, Yapena dan Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) bersama elemen masyarakat sipil sebagai aktivis pertanahan, menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang mengupas dan mengkristalkan gagasan membentuk KAN.
Tanpa semangat sinergitas, kekompakan, koordinasi, dan keterbukaan, maka semua niat baik ini niscaya akan terlaksana dengan baik. Nah, dalam rangka bertukar gagasan dan mendapatkan masukan mengenai berdirinya KAN, maka Yapena bersama JPKP dengan mendapatkan dukungan pembiayaan dari PT Pertamina menggelar FGD. Target dari FGD ini adalah untuk merumuskan dan mengkristalkan gagasan serta peta jalan pembentukan KAN.
FGD menampilkan sejumlah pembicara dan peserta yang sangat kompeten di bidangnya. Mereka di antaranya Bambang Harymurti (Anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum), Maret Samuel Sueken (Ketua Umum JPKP), Sunraizal (Staf Ahli Menteri ATR/Kepala BPN, mantan Irjen Kementerian ATR/BPN), Hamdan Zoelva (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Andi Samsan Nganro (Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung), Bahrul Ilmi Yakup (Ketua Umum Asosiasi Advokat Konstitusi Indonesia), dan Ronsen Pasaribu (Ahli Agraria, mantan Staf Ahli Kementrian ATR/BPN). (srv)