Wamenkumham Tersangka, Ternyata Gratifikasi Paling Banyak Jerat Pejabat

Wamenkumham-Eddy

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej. Foto: Dok Kemenkumham

INDOPOS.CO.ID – Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyatakan, kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi menjadi kasus korupsi paling banyak menjerat pejabat publik. Biasanya dilakukan sebagai pemberian cuma-cuma dalam berbagai bentuk berkaitan pekerjaan, jabatan, atau tugas.

Dalam laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.

Pasal 12B ayat (1) UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001, berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,

Pasal 12C ayat (1) UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001, berbunyi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej sebagai tersangka kasus dugaan suap pada, Kamis (9/11/2023).

“Ya, kasus gratifikasi itu paling banyak, karena seringkali gratifikasi itu dianggap soal yang biasa, dianggap hadiah karena status seseorang sebagai pejabat publik,” kata Abdul Fickar kepada INDOPOS.CO.ID melalui gawai, Jakarta, Jumat (10/11/2023).

Dalam konteks berkaitan dengan pekerjaan sebuah gratifikasi itu bisa berhimpit dengan korupsi suap. Meski tidak semuanya bisa dikategorikan demikian. Pemberian oleh keluarga, misalnya

“Karena itu jika benar KPK telah menetapkan Wamenkumhan sebagai tersangka, saya kira KPK cukup punya bukti dari terjadinya tipikor gratifikasi atau suap,” jelas Abdul Fickar.

Setelah penyelidikan selesai berdasarkan KUHAP, itu artinya sudah ada peristiwa pidananya. Termasuk berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Undang-Undang KPK pada selesainya penyelidikan untuk ditingkatkan ke penyidikan KPK sudah bisa menetapkan tersangka.

“Itu artinya, pembuktian sudah selesai dan langsung diikuti penetapan tersangka. Wamenkumham punya hak untuk membela diri selain juga pendampingan oleh pengacara,” ujar Abdul Fickar.

Eddy pernah diperiksa penyidik KPK terkait kasus yang dilaporkan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) itu. Saat itu, dia membantah telah menerima suap. Kini berstatus tersangka dijerat Pasal Suap dan Gratifikasi UU Tindak Pidana Korupsi. (dan)

Exit mobile version