Soal Transaksi Keuangan Janggal di Pemilu, PPATK: Kami Menjaga Pemilu Tak Ada TPPU

kotakip

Ilustrasi pelaksanaan pemilu. Foto: istimewa

INDOPOS.CO.ID – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengendus, adanya kejanggalan transaksi keuangan diduga untuk kepentingan penggalangan suara pada pemilihan umum (Pemilu) 2024. Namun, temuan tersebut tak bisa diungkapkan secara detail.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menyatakan, pihaknya hanya menjalankan tugas dan fungsi lembaganya demi mencegah praktik kotor dalam kontestasi Pemilu 2024

“Prinsipnya yang kami lakukan adalah untuk menjaga proses Pemilu ini, tidak ada potensi TPPU atau masuknya uang-uang yang berasal dari tindak pidana (illegal) untuk membiayai kegiatan kontestasi, apalagi jual beli suara,” kata Ivan kepada INDOPOS.CO.ID melalui gawai, Jakarta, Senin (18/12/2023).

Saat ditanya apakah temuan tersebut, telah dilaporkan kepada aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia hanya menjawab secara normatif.

“Kami melaksanakan tugas dan kewenangan kami, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010,” ucap Ivan. Ketentuan itu mengatur Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru-baru ini menerima, surat dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait kejanggalan transaksi pengurus partai politik diduga untuk kampanye. Surat tersebut tertanggal 8 Desember 2023.

Komisioner KPU RI Idham Kholid mengatakan, surat dari Kepala PPATK berperihal Kesiapan dalam Menjaga Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah yang Mendukung Integrasi Bangsa. Diterima KPU pada 12 Desember 2023 dalam bentuk hardcopy.

“Dalam surat PPATK ke KPU tersebut, PPTAK menjelaskan ada rekening bendahara parpol pada periode April – Oktober 2023 terjadi transaksi uang, baik masuk ataupun keluar, dalam jumlah ratusan miliar rupiah,” ucap Idham Kholid melalui gawai, Jakarta, Sabtu (16/12/2023).

PPATK menyebut, transaksi keuangan tersebut berpotensi akan digunakan untuk penggalangan suara yang akan merusak demokrasi Indonesia.

“Terkait transaksi ratusan miliar tersebut, bahkan transaksi tersebut bernilai lebih dari setengah trilyun rupiah,” tutur Idham.

PPATK tidak merinci sumber dan penerima transaksi keuangan tersebut. Data hanya diberikan dalam bentuk data global, tidak terinci, hanya berupa jumlah total data transaksi keuangan perbankan.

“Jadi dengan demikian, KPU pun tidak bisa memberikan komentar lebih lanjut,” ucapnya. (dan)

Exit mobile version