INDOPOS.CO.ID – Indonesia tidak hanya dihadapkan pada ancaman pertahanan akibat ketidakpastian geopolitik global, tetapi juga yang berasal dari dalam negeri terkait pergeseran pusat gravitasi nasional dengan hadirnya Ibu Kota Nusantara (IKN). Dengan posisi Indonesia yang strategis, Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Ganjar-Mahfud akan memperkuat pertahanan dalam dan luar negeri demi mengawal kepentingan nasional.
Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud Andi Widjajanto mengatakan, posisi Indonesia yang strategis secara global menyebabkan Indonesia dihadapkan pada kerawanan dan risiko yang bersifat dinamis dan kekinian, utamanya di kawasan yang ditimbulkan dari tarung global AS-Tiongkok.
“Tantangan tidak hanya berasal dari negara lain, tetapi juga karena adanya pergeseran centre of gravity (CoG),” ujar Andi Widjajanto, Kamis (11/1/2024).
Dia menjelaskan, IKN merupakan pusat gravitasi baru sehingga menjadi keniscayaan untuk meningkatkan kekuatan pertahanan Indonesia dengan daya gentar yang mampu menghalau berbagai jenis ancaman.
“Pengembangan postur-postur militer yang saling terkoneksi dan terpusat pada IKN harus diperkuat dengan peningkatan kapasitas Anti Akses dan Penangkalan Wilayah (A2/AD) sebagai benteng nusantara untuk melawan ancaman di berbagai zona pertahanan,” jelas Andi.
“Kebutuhan untuk menata ulang gelar pasukan (redeployment) akibat adanya pergeseran tersebut harus didasarkan pada Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanrata) dan Sistem Pertahanan Berlapis,” imbuhnya.
Hal ini dilakukan untuk menjadikan Indonesia sebagai Garda Samudra (Guardian of the Seas) yang dapat diwujudkan melalui pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang mengarah pada pertahanan 5.0 yang SAKTI, yakni perkasa dengan teknologi terkini.
“Pertahanan kita mesti masuk pada wilayah 5.0, dengan teknologi SAKTI, dengan rudal hipersonik, senjata siber, sensor kuantum, dan sistem senjata otonom,” tukas Ganjar saat pemaparan visi misi pada debat ketiga, Minggu (7/1/2024) lalu.
Teknologi-teknologi tersebut tidak tertinggal generasinya dari teknologi senjata milik negara-negara adidaya. Penguatan kapasitas pertahanan juga membutuhkan sinergi dari seluruh matra (trimatra terpadu) agar mampu menjalankan operasi lintas medan, termasuk dengan memanfaatkan instrumen siber.
Untuk melakukan transformasi pertahanan menjadi Garda Samudra, Indonesia membutuhkan anggaran pertahanan hingga 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Saat ini Indonesia masih jauh dari upaya modernisasi karena anggarannya masih berada di bawah 1 persen dari PDB.
“Ini jauh di bawah anggaran pertahanan negara-negara tetangga maupun negara adidaya, sehingga belum optimal dalam menghadapi gejolak geopolitik. Kebijakan pengadaan alutsista juga belum sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya (user),” tutur Anggota Eksekutif TPN Ganjar-Mahfud Reine Prihandoko.
Indonesia juga masih harus menghadapi sejumlah tantangan dalam melakukan modernisasi pertahanan, salah satunya ditandai dengan pemenuhan Minimum Essential Force (MEF) yang tidak sesuai dengan target.
“Menurut data dari KKIP, pada tahun 2023, capaian MEF Indonesia hanya sebesar 65,49 persen dari target, yang bahkan sudah disesuaikan ulang menjadi hanya sebesar 79 persen. Target MEF diragukan dapat terpenuhi selama satu tahun ini (2024),” ujar Reine. (nas)