INDOPOS.CO.ID – Calon Presiden (Capres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo menegaskan transisi energi menuju energi hijau dan berkelanjutan harus dilakukan secara bertahap. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan ketersediaan sumber daya energi.
Ganjar menjelaskan, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) memang telah menjadi sorotan dunia, termasuk pada pertemuan COP 28 di Uni Emirat Arab beberapa waktu lalu. Indonesia memang punya pilihan transisi energi. Jika tidak dilakukan saat ini, maka masalahnya akan menjadi lebih besar ke depan.
“Masalah ini harus dimitigasi dari sekarang dengan memperhatikan biaya dan sumber daya energi yang ada,” ujar Ganjar Pranowo saat dialog di KADIN, Kamis (11/1/2024).
Namun, dia juga menyadari transisi energi akan dilakukan secara gradual. “Beberapa teman memberi nasihat pada saya, jangan langsung lompat ke EBT. Kita masih punya gas yang belum optimal pemanfaatan. Kalau dari energi kotor ke energi yang sedikit lebih bersih kemudian ke EBT rasa-rasanya bisa jalan,” tandasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luar Negeri KADIN, Shinta W Kamdani menegaskan, Indonesia punya komitmen untuk mencapai nett zero emission (NZE) pada 2060 nanti. Sementara kalau Indonesia mau mempercepat pemanfaatan EBT maka akan ada konsekuensi, yakni harga energi yang lebih tinggi. Sebut saja harga listrik dari PLTS lebih mahal dari harga listrik dari batu bara.
“Sehingga subsidi untuk energi menjadi lebih besar. Kemudian biaya yang dikeluarkan masyarakat pun lebih besar. Pertanyaannya bagaimana menyeimbangkan dua kepentingan ini,” tanya Shinta.
Ganjar menambahkan, gas menjadi alternatif sumber energi yang menggantikan pasokan energi dari batu bara sekaligus menjadi tumpuan pasokan energi menuju transisi EBT. Pemanfaatan gas juga dapat menjamin pasokan energi tersebut bersih sesuai dengan komitmen pemerintah terhadap NZE.
Menurut Ganjar, EBT sebagai sumber listrik memang masih mahal tarifnya dan belum relevan bagi mayoritas masyarakat saat ini. Produksi setrum dari EBT cenderung menghasilkan listrik dengan harga lebih mahal daripada pasokan listrik dari gas atau batu bara.
Pemanfaatan sumber daya gas bumi belakangan menjadi alternatif, terutama pada sektor transportasi dan pembangkit listrik. Pemanfaatan gas juga berimplikasi pada dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan.
“Kami bahkan sudah menghitung beberapa potensi dari EBT yang bisa kita generate banyak sekali. Panas bumi misalnya. Kemudian ada gas rawa untuk desa mandiri energi. Singkatnya kurva EBT sudah harus mulai dilaksanakan,” ujarnya. (nas)