Adanya Dua Nilai Kerugian yang Berbeda, Akibatkan Tidak Adanya Kerugian Negara

eko

INDOPOS.CO.ID – Ahli keuangan negara dan perhitungan kerugian negara, Dr. Eko Sembodo, SE, MM, Mak, CFrA, menegaskan bahwa yang berwenang melakukan penghitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi, hanya satu lembaga, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penghitungan kerugian negara itu, ada standar pemeriksaannya. Bila ada pihak lain di luar BPK, yang melakukan penghitungan kerugian negara dan tidak menggunakan standar pemeriksaan yang sudah ditetapkan BPK, maka hasil pemeriksaannya, tidak dapat digunakan.

Berdasarkan Peraturan BPK No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pada Pasal 1 ayat 1, diatur bahwa Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Hal tersebut diungkapkan Eko Sembodo saat menjadi saksi ahli dalam kasus tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa antara PT. Interdata Teknologi Sukses dengan PT. PINS Indonesia, PT. Telkom Telstra dan PT. Infomedia Nusantara, senilai 232 miliar rupiah, tahun 2017-2018, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/1/2024).

“Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa dalam melakukan pemeriksaan, harus berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara No.1 Tahun 2017. Hal tersebut sangat diperlukan agar laporan hasil pemeriksaan dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diyakini kebenarannya,” ujar Eko.

Disebutkan bahwa SPKN adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pasal 1 ayat 5 pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban.

“Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa dalam melakukan pemeriksaan, harus berpedoman pada SPKN. Hal ini, sangat diperlukan mengingat SPKN, adalah patokan yang menjadi acuan dari pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan. Jadi dari penjelasan peraturan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara/daerah, pemeriksa harus berpedoman pada standar pemeriksaan. Hal ini perlu dilakukan mengingat standar pemeriksaan keuangan negara, adalah patokan dasar yang harus dipedomani agar temuan hasil pemeriksaan dapat dipertanggungjawabkan,” tukas Eko.

Dalam kasus ini, Eko melihat dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Umar Syahid, yang diperiksa sebagai ahli dalam proses audit, melakukan perhitungan kerugian negara dalam kasus ini, secara on desk dengan auditor lain. Dalam BAP, terlihat langkah yang dilakukan Umar Syahid, dengan cara mendapatkan eviden hasil pemeriksaan dari penyidik Kejari Jakarta Barat, berupa dokumen proyek Quartee, dokumen laporan hasil audt investigasi proyek Quartee berita acara pemeriksaan saksi-saksi, dan melakukan analisa atas hasil audit investigasi, antara lain, temuan terkait penyimpangan dan pelaku proses.

“Padahal dalam SPKN dijelaskan bahwa dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksa harus bersikap independen, tidak boleh memihak, serta tidak dipengaruhi oleh siapapun. Selain bersikap independen, pemeriksa juga harus obyektif, maksudnya disini, pemeriksa harus melakukan pengujian dengan melakukan konfirmasi dan klarifikasi atas permasalahan yang sedang diuji. Pemeriksa tidak hanya melakukan pemeriksaan secara on desk,” ujar Eko.

Sedangkan kalau melihat BAP Umar Syahid, dapat terlihat, saksi tidak melakukan pengujian dengan cara konfirmasi dan klarifikasi, tetapi hanya mempelajari dokumen secara on desk.

“Hal ini dapat diketahui dari laporan hasil pemeriksaan yang dibuatnya, yang mengatakan, bahwa dari penelaahan atas indikasi penyimpangan dan kecurangan perjanjian Kerjasama fiktif antara PT. Interdata Teknologi Sukses dengan PT. PINS Indonesia, PT. Telkom Telstra, dan PT. Infomedia Nusantara. Hal tersebut sangat bertentangan dengan pernyataan standar pemeriksaan 300 standar pelaporan pemeriksaan A4 yang menyatakan LHP harus obyektif, dimana pemeriksa harus menyajikan LHP secara seimbang, tidak memihak dan sesuai dengan fakta yang ditemui di lapangan,” ungkap Eko.

Bahwa dengan tidak bersikap obyektif dalam melaksanakan pemeriksaan, mengakibatkan LHP yang dibuat pemeriksa, menjadi tidak dapat diyakini kebenarannya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Ditambahkannya, dalam BAP Umar Syahid, sebagai ahli dalam melakukan pemeriksaan perhitungan keuangan negara, juga tidak menjelaskan peraturan dan undang-undang apa yang digunakan, sebagai kriteria untuk mengukur terjadinya penyimpangan.

“Serta ahli juga tidak menjelaskan standar apa yang dijadikan pedoman dalam menguji atas permasalahan yang sedang diperiksa. Hal ini menunjukkan bahwa Umar Syahid sebagai ahli pemeriksaan perhitungan kerugian negara tidak profesional,” tukas Eko.

Demikian juga dalam BAP I Made Surya Wirawan, sebagai pihak yang pernah melakukan penelaahan perjanjian kerjasama fiktif antara PT. Interdata Teknologi Sukses dengan PT. PINS Indonesia, PT. Telkom Telstra, dan PT. Infomedia Nusantara, dalam BAPnya, juga tidak menjelaskan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan digunakan, dalam melakukan penelaahan dan menyatakan perjanjian kerjasama itu fiktif.

“Dalam BAPnya, juga tidak dijelaskan, standar apa yang digunakan untuk menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian fiktif,” ujar Eko.

Bahwa dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa kedua orang tersebut, tidak professional dalam melakukan pemeriksaan, dan melakukan penelaahan atas perjanjian kerjasama tersebut.

“Bahwa apabila pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan, tidak bersikap independen, obyektif, profesional dan tidak berpedoman pada standar pemeriksaan keuangan negara, maka laporan hasil pemeriksaan yang dibuat, tidak dapat diyakini kebenarannya, dan laporan hasil pemeriksaan tersebut, tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Eko.

Pihaknya juga menyoroti tentang jumlah kerugian negara yang dinyatakan dari hasil audit investigasi seperti diterangkan dalam BAP Umar Syahid dan BAP I Made Surya Wirawan.

Dalam BAP Umar Syahid, sebagai ahli dalam proses audit yang melakukan perhitungan keuangan negara secara on desk dengan auditor lain, menyatakan, bahwa dari hasil audit investigasi dan penelaahan terhadap perjanjian kerjasama fiktif antara PT. Interdata Teknologi Sukses dengan PT. PINS Indonesia, PT. Telkom Telstra, dan PT. Infomedia Nusantara, terdapat penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara sebilai Rp. 236.171.580.669,-. Sedangkan dalam BAP I Made Surya Wirawan, yang pernah melakukan audit investigasi dalam kasus yang sama, menyimpulkan telah terjadi kerugian negara sebesar Rp. 126.837.082.358,-.

Dalam UU No.1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara, dalam Pasal 1 ayat 22, kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. “Dari undang undang tersebut diharuskan bahwa kerugian negara itu harus nyata dan pasti. Namun dari dua ahli yang pernah melakukan audit investigasi menyimpulkan nilai kerugian negara dengan jumlah yang berbeda, masing masing ahli menyimpulkan besarnya kerugian negara yang berbeda. Bahwa dengan adanya dua nilai kerugian negara yang berbeda mengakibatkan tidak adanya kerugian negara, hal ini disebabkan karena nilai kerugian negara tidak nyata dan pasti,” ujar Eko.

Ditegaskannya, yang namanya kerugian negara, harus nyata dan pasti. “Harus ada angka yang pasti, harus ada angka yang dikeluarkan oleh auditor yang mengaudit. Apabila terdapat dua angka dalam audit tidak dapat dinyatakan nyata dan pasti. Karena angka tidak pasti, berarti tidak ada kerugian negara,” ujar Eko. (ibs)

Exit mobile version