Ironi Demokrasi, Romo Magnis Kritik Keras Kepemimpinan Jokowi

Ironi Demokrasi, Romo Magnis Kritik Keras Kepemimpinan Jokowi - romo - www.indopos.co.id

Para akademisi lintas kampus bersuara merespons soal merosotnya demokrasi dan situasi nasional pascapencoblosan. (Indopos.co.id/Dhika Alam Noor)

INDOPOS.CO.IDGuru Besar Filsafat Moral Franz Magnis Suseno atau sapaan karibnya Romo Magnis menyoroti kemerosotan kualitas demokrasi di Indonesia yang terjadi belakangan ini akibat mengabaikan etika. Karenanya semua pihak harus kompak bersuara.

Hal tersebut disampaikanya usai diskusi temu ilmiah universitas se-Jabodetabek bertajuk “Menegakkan Konstitusi, Memulihkan Peradaban Berbangsa dan Hak Kewargaan” di Gedung IMERI FK UI, Salemba Jakarta Pusat.

“Kita tidak boleh diam pada saat demokrasi itu dibongkar dan dilanggar (etika-red), diganti dengan kekuasaan, kita harus bicara,” kata Romo Magnis di Jakarta dikutip, Jumat (15/3/2024).

Para akademisi lintas ilmiah telah menyampaikan pendapatnya terkait situasi nasional dan implikasi luasnya terhadap kehidupan bermasyarakat, bangsa dan negara. Dengan mengacu nilai-nilai dan spirit pendirian bangsa yaitu, Pancasila dan konstitusi.

Sejumlah akademisi yang bersuara itu di antaranya Guru Besar UI, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar IPB, Prof. Didik Suharjito, Guru Besar UNJ, Prof. Hafid Abbas, akademisi dan ekonom Faisal Basri, akademisi UNJ Ubedilah Badrun hingga pakar hukum tata negara Bivitri Susanti.

Pertama menyuarakan, bahwa konstitusi mewajibkan presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, untuk berdiri di atas semua golongan tanpa terkecuali. Namun amanat Konstitusi tersebut tidak dilaksanakan semata demi kepentingan kekuasaan.

Kedua, Konstitusi mewajibkan Presiden untuk mematuhi hukum dan kemandirian peradilan. Dalam praktiknya, terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan rekayasa hukum (politisasi yudisial), yang makin meruntuhkan demokrasi.

Diubahnya pelbagai aturan dan kebijakan melemahkan pemberantasan korupsi dan merugikan hak rakyat, dari bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hingga mineral dan pertambangan yang berakibat tersingkirnya masyarakat adat, hutan, dan kepunahan keanekaragaman hayati sebagai sumber pengetahuan, pangan, dan obat-obatan.

Ketiga, instrumentalisasi bantuan sosial (pork barrel politics) dengan alasan menopang rakyat miskin nampak seperti pembiaran terhadap kemiskinan. Padahal seharusnya penghapusan kemiskinan dilakukan dengan ủpaya memperluas lapangan kerja di segala bidang.

Selain itu, meningkatkan kapasitas penduduk usia muda agar punya akses pendidikan setinggi-tingginya, memiliki inovasi untuk menghasilkan produk sains, teknologi, kesenian dan beragam produk budaya.

Ubedilah Badrun mendesak dilakukannya reformasi hukum, khususnya atas produk perundang-undangan terkait politik dan Pemilu, dan berbagai peraturan perundangan lain yang berimplikasi pada hayat hidup orang banyak.

“Proses transparan dan akuntabel; serta tidak lagi merumuskan hukum yang substansinya mengabaikan kedaulatan rakyat, dan hanya mengutamakan kepentingan segelintir orang saja (oligarki),” ujar Ubedilah dalam kesempatan tersebut. (dan)

Exit mobile version