Ekonomi Baru dari Deru Suara Knalpot

Knalpot-Long-Rider

INDOPOS.CO.ID – Industri otomotif sudah lama menjadi salah satu mesin penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Optimisme itu semakin meningkat manakala program hilirisasi semua sektor digulirkan, maka melalui kemitraan yang erat antara pelaku industri otomotif dengan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kontribusi industri otomotif bagi ekonomi nasional diyakini semakin kuat dan tak diragukan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan menyampaikan arahan, program hilirisasi tidak hanya untuk sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba), tetapi juga pada sektor pertanian, perkebunan, perikanan hingga sektor lainnya yang memiliki potensi besar termasuk otomotif.

Khusus untuk otomotif, hal itu semakin beralasan mengingat data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023 mencatat industri otomotif menyumbang Rp311 triliun atau sekitar 9 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan non migas. Sedangkan pertumbuhan industri otomotif selama 5 tahun terakhir (2018-2023) mencapai 4,1 persen.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan tahun 2023 produksi otomotif roda 4 sebanyak 1,395 juta unit. Sementara ASEAN Automotive Federation (AAF) mencatat jumlah produksi sepeda motor/roda 2 sebanyak 5,2 juta unit.

Salah satu kontributor terbesar yang menggerakkan industri otomotif adalah suku cadang. Misalnya saja knalpot yang merupakan bagian dari kendaraan bermotor, sudah lazim diketahui selalu mengalami perubahan (modifikasi) dalam industri otomotif sehingga wajar jika permintaan atas suku cadang ini tergolong yang paling tinggi.

Bahkan, karena saking banyaknya permintaan menurut Ketua Asosiasi Knalpot Seluruh Indonesia (AKSI) Asep Hendro, industri knalpot saat ini memiliki potensi ekonomi yang luar biasa besar, dengan serapan tenaga kerja hingga 15 ribu orang dan melibatkan puluhan UMKM.

“Anggota AKSI sudah memiliki 20 brand knalpot lokal dan ini masih bisa berkembang karena ada sekitar 300 perajin knalpot dan brand knalpot yang belum bergabung dalam asosiasi,” kata Asep.

Namun sayangnya, Asep menjelaskan usaha mereka kerap menghadapi tantangan di antaranya razia penertiban penggunaan knalpot brong yang belakangan ini justru berdampak kepada UMKM produsen knalpot.

“Hal itu karena ada kesan yang ditimbulkan bahwa knalpot produksi mereka merupakan knalpot brong yang dianggap tidak sesuai standar yang diberlakukan pemerintah. Ini menjadi ancaman bagi 15 ribu karyawan yang berpotensi dirumahkan jika masalah ini tidak segera diselesaikan,” kata Asep.

Padahal, pihaknya menjamin, knalpot yang diproduksi anggota AKSI sudah memenuhi regulasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait ambang batas kebisingan yang selama ini dijadikan sebagai acuan bagi industri untuk memproduksi knalpot.

Asep berharap berbagai instansi terkait seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin), KLHK, Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan Kepolisian RI duduk bersama untuk merumuskan ketentuan terkait knalpot yang dinilai sesuai dengan standar atau ber-SNI.

“Saya berharap segera ada SNI untuk knalpot, sehingga UMKM industri knalpot mendapatkan iklim usaha yang kondusif bahkan bisa lebih meningkatkan omzet,” kata Asep.

Menurut Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Hanung Harimba Rachman, bisnis knalpot ini merupakan salah satu industri kreatif yang sudah berkembang di kalangan masyarakat dan banyak mendatangkan multiplier effect sejak lama.

“Ini merupakan embrio industri otomotif yang harus kita kembangkan ke depan karena memiliki potensi ekonomi yang cukup besar dan menyerap banyak tenaga kerja. Artinya, dampak turunannya luar biasa,” kata Hanung.

Adapun dampak lainnya, kata Hanung, usaha ini mampu menggerakkan usaha turunan lainnya di antaranya bengkel, pemasaran sebagai agen penjualan, melahirkan mekanik-mekanik, dan industri kreatif (modifikasi) yang semakin bergairah.

“Maka, kita menganggap penting bahwa memberdayakan industri knalpot lokal sangat strategis,” kata Hanung.

Sebagai upaya melindungi UMKM otomotif khususnya produsen knalpot, KemenKopUKM bersama stakeholder terkait mengusulkan langkah review untuk regulasi yang mengatur tingkat kebisingan knalpot.

Hanung juga menilai, produk knalpot yang diproduksi oleh AKSI sebenarnya sudah memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2019 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor.

“Produsen yang memproduksi knalpot aftermarket itu sudah mengikuti ketentuan yang berlaku mengenai ambang batas, emisi, dan lainnya. Ini kami akan mencari jalan keluar supaya aparat mudah memahami mana yang knalpot brong dan mana knalpot yang diproduksi sesuai ketentuan,” kata Hanung.

Dengan mereview regulasi yang sudah ada tersebut juga diharapkan ada regulasi baru yang lebih mudah diimplementasikan di lapangan sehingga aparat kepolisian yang bertugas di lapangan dapat membedakan knalpot standar produksi UMKM dan knalpot brong dalam melakukan penindakan. Di sisi lain produsen knalpot terlindungi sehingga ribuan tenaga kerja tetap bisa mempunyai mata pencaharian.

“Tugas utama pemerintah yang paling penting adalah membuat regulasi yang tepat dan benar dan itu yang akan kami lakukan. Kami akan melihat regulasi kembali agar dapat dilakukan penyempurnaan sehingga dalam pelaksanaan semakin mempermudah semua termasuk oleh aparat hukum,” ucap Hanung.

Hanung mengakui, saat ini belum ada sertifikasi teknis atau SNI untuk knalpot aftermarket. Sebagai perbandingan, negara tetangga, Filipina telah mengumumkan perubahan standar nasional untuk knalpot motor melalui Undang-Undang Muffler tahun 2022, yang merekomendasikan batas suara sebesar 99 desibel (dB).

Aturan tersebut menetapkan tingkat suara knalpot kendaraan bermotor tidak boleh melebihi 99 dB dan diukur pada putaran mesin 2.000 hingga 2.500 rpm. Oleh sebab itu produsen knalpot dalam negeri dituntut untuk menyesuaikan standar mereka dan memperoleh sertifikasi teknis yang sesuai dengan regulasi ini.

“Dalam rangka pembinaan dan pemberdayaan, kami mendorong agar standardisasi untuk knalpot aftermarket yang saat ini belum ada segera direalisasikan, sehingga akan mudah dibedakan antara knalpot aftermarket yang terstandardisasi dan sesuai regulasi dibandingkan dengan knalpot brong,” kata Hanung.

Ia juga menegaskan, pihaknya bersama Kementerian/Lembaga (K/L) terkait telah berkomitmen untuk terus membina UMKM atau Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang memproduksi komponen otomotif khususnya produk knalpot. Dia berharap UMKM atau IKM tersebut terus tumbuh sehingga kontribusi terhadap perekonomian nasional semakin besar.

“Selama regulasi ini direview dan disusun, UMKM ini akan tetap dilindungi dan akan terus kami bina sesuai mandat dari UU Cipta Kerja. Selama belum ada regulasi yang baru kita harap mereka tidak terkena razia knalpot brong karena sebenarnya usaha mereka yang tergabung dalam AKSI sudah memenuhi ketentuan yang ditetapkan,” kata Hanung. (srv)

Exit mobile version