Peran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam Pemenuhan Hak Suara Narapidana Tahun 2024

ditjenpas

Gedung Ditjen Pas. (Dok Ditjen Pas)

Oleh : Arlian Efrata Tarigan

INDOPOSCO.ID – Hak pilih merupakan hak asasi manusia yang melekat pada setiap individu, termasuk narapidana. Di Indonesia, hak pilih narapidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Undang-undang yang mengatir tentang hak suara narapidana adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik.

Artikel 10 ayat 1 dari Pasal 10 dijelaskan bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum, tanpa pembedaan atau pembatasan apapun. Pasal 10 dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan juga mengatur mendapatkan hak sesuai dengan peraturan perundang undangan.

Berdasarkan data dari KPU yang disampaikan dalam pertemuan secara daring antara KPU, Ombudsman RI dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kemenkumham pada 6 Februari 2024, jumlah total pemilih pemilu 2024 sebanyak 204,81 juta orang.

Dari jumlah tersebut, pihak Ditjen Pemasyarakatan menyampaikan bahwa estimasi pemilih dari WBP di seluruh Indonesia berjumlah 242.308 orang, terdiri atas DPT aktual sebanyak 139.705 orang, DPTb sebanyak 65.743 orang dan calon DPK 36.860 orang.

Maka terdapat analisis SWOT permasalahan dalam hak suara narapidana dan bagaimana peran Ditjen Pas dalam permasalahan yang ada dalam hal ini.

Strengths (Kekuatan)

• Hak asasi manusia: Hak untuk memilih dan dipilih merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Memberikan hak suara kepada narapidana dapat memperkuat demokrasi dan meningkatkan rasa keadilan.

• Rehabilitasi: Memberikan hak suara kepada narapidana dapat membantu mereka untuk kembali jadi anggota masyarakat yang produktif dan bertanggung jawab. Proses pemungutan suara dapat menjadi bagian dari program rehabilitasi dan pendidikan di lapas.

• Keamanan: Memberikan hak suara kepada narapidana dapat membantu untuk mengurangi ketegangan dan kekerasan di lapas. Narapidana yang merasa memiliki suara dan didengarkan lebih mungkin untuk mematuhi peraturan dan berpartisipasi dalam program pembinaan.

Weaknesses (Kelemahan)

• Kejahatan: Narapidana yang telah melakukan kejahatan serius mungkin tidak layak untuk memiliki hak suara. Memberikan hak suara kepada mereka dapat dianggap sebagai bentuk penghargaan atas tindakan kriminal mereka.

• Keamanan: Proses pemungutan suara di lapas dapat menimbulkan risiko keamanan. Narapidana mungkin mencoba untuk menggunakan hak suara mereka untuk melarikan diri atau melakukan tindakan kriminal lainnya.

• Biaya: Memberikan hak suara kepada narapidana dapat menimbulkan biaya tambahan bagi pemerintah. Biaya ini dapat mencakup biaya untuk menyediakan tempat pemungutan suara, pelatihan petugas lapas, dan pencetakan surat suara.

Opportunities (Peluang)

• Pendidikan: Memberikan hak suara kepada narapidana dapat menjadi peluang untuk mendidik mereka tentang demokrasi dan proses pemilihan umum.

• Partisipasi: Memberikan hak suara kepada narapidana dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam masyarakat. Hal ini dapat membantu mereka untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif setelah mereka dibebaskan dari lapas.

• Reformasi: Memberikan hak suara kepada narapidana dapat menjadi bagian dari reformasi sistem peradilan pidana. Hal ini dapat membantu untuk membuat sistem peradilan pidana lebih adil dan manusiawi.

Threats (Ancaman)

• Penolakan publik: Masyarakat mungkin menolak gagasan untuk memberikan hak suara kepada narapidana. Hal ini dapat membuat sulit untuk menerapkan kebijakan ini.

• Manipulasi: Narapidana mungkin mencoba untuk memanipulasi proses pemungutan suara untuk keuntungan pribadi mereka. Hal ini dapat merusak integritas pemilihan umum.

• Ketidakadilan: Memberikan hak suara kepada narapidana dapat dianggap sebagai bentuk ketidakadilan bagi korban kejahatan. Hal ini dapat membuat korban merasa bahwa suara mereka tidak didengar.

Peran Ditjen Pas dalam hal ini:

Direktorat Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) berperan penting dalam menjamin terlaksananya hak pilih narapidana. Berikut adalah beberapa peran Direktur Eksekutif PASS.

● Penetapan kebijakan dan peraturan: Director Pass berwenang mengeluarkan kebijakan dan peraturan mengenai pelaksanaan hak pilih narapidana.

● Penyediaan Fasilitas: Sekretaris Pass bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu di penjara, seperti Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan kotak suara.

● Koordinasi: Direktur Pemasyarakatan berkoordinasi dengan KPU dan Bawaslu untuk menjamin kelancaran pelaksanaan pemilu di lembaga pemasyarakatan.

● Memberikan Edukasi: Secretary Pass memberikan edukasi kepada narapidana mengenai hak memilih dan cara memanfaatkannya.

● Perlindungan terhadap hak memilih narapidana: Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan menjamin bahwa hak memilih narapidana tidak dilanggar oleh pihak manapun.

Inisiatif Direktorat Pas, Direktorat Pass telah melakukan berbagai inisiatif untuk memastikan terpenuhinya hak pilih narapidana. Berikut beberapa upaya tersebut:

● Membuat surat edaran: Secretary Pass telah mengeluarkan surat edaran yang berisi petunjuk tata cara penyelenggaraan pemilu di lembaga pemasyarakatan.

● Pembentukan Tim Koordinasi: Dirjen Paz membentuk tim koordinasi dengan KPU dan Bawaslu untuk menjamin kelancaran pelaksanaan pemilu di lembaga pemasyarakatan.

● Melakukan diskusi pendidikan: Sekretaris Paz melakukan diskusi pendidikan dengan narapidana mengenai hak untuk memilih dan penggunaannya.

● Memfasilitasi pendirian TPS di Lapas. Ditjenpas memfasilitasi pendirian TPS di penjara agar narapidana dapat dengan mudah menggunakan hak pilihnya.

Tantangan:

Meskipun Direktorat Jenderal Keamanan telah melakukan berbagai upaya, namun masih terdapat beberapa tantangan dalam menjamin hak pilih WBP. Beberapa tantangan tersebut tercantum di bawah ini.

● Stigma Sosial: WBP masih sering mendapat stigma dari masyarakat sehingga enggan menggunakan hak pilihnya.

● Kurangnya pendidikan: Banyak narapidana yang masih tidak tahu apa-apa tentang hak pilihnya dan bagaimana cara melaksanakannya.

● Pembatasan Akses: WBP di Lapas terpencil seringkali memiliki akses terbatas terhadap informasi dan sumber daya pemilu.

Kesimpulan:

Pemberian hak pilih kepada narapidana merupakan persoalan kompleks yang memerlukan banyak pertimbangan. Ada berbagai pendapat yang mendukung dan menentang kebijakan ini. Penting untuk mempertimbangkan semua faktor sebelum memutuskan apakah akan memberikan hak pilih kepada warga binaan pemasyarakatan.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan memainkan peran penting dalam memastikan hak pilih narapidana diterapkan. Meski masih terdapat beberapa tantangan, namun Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi tantangan tersebut. Diharapkan dengan kerja sama berbagai pemangku kepentingan, hak memilih narapidana dapat dilaksanakan dengan baik. (*)

Exit mobile version