INDOPOS.CO.ID – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) bersama Kejaksaan Agung (Kejagung) melaksanakan koordinasi terkait penyusunan kajian tentang tentang potensi permasalahan terkait penerapan keadilan restoratif. Hal ini dilakukan kedua pihak untuk mewujudkan keterpaduan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana di Indonesia tanpa terjadinya tumpang tindih antar para pihak.
Dalam pertemuan yang dilaksanakan di Jakarta pada Rabu (17/7), Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Upaya Keadilan Restoratif Pemasyarakatan, Pujo Harinto menyampaikan bahwa terkait bentuk-bentuk pembinaan yang telah dilakukan kepada Warga Binaan itu dikategorikan menjadi 2 bentuk yaitu Pembinaan Kepribadian dan Pembinaan Kemandirian.
Berdasarkan kategori Pembinaan Kepribadian meliputi sikap cinta tanah air, sikap spriritual, dan semua yang menyangkut aspek pribadi Warga Binaan. Sedangkan, Pembinaan Kemandirian meliputi penyelenggaraan pendidikan non formal, kemudian pelatihan keterampilan, telah berjalan dengan baik sesuai dengan aturan yang ada.
Lebih lanjut, terkait pelaksanaan keadilan restoratif, Pujo menjelaskan bahwa pembimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan diberikan berdasarkan jenis kategori tindak pidana. Sehingga pemberian pidana alternatif yang pada KUHP UU No 1 Tahun 2023 memuat tentang pemberian pidana alternatif paling lama selama 5 tahun sehingga pelaksanaan pidana alternatif dapat diimplementasikan kepada jenis kasus tindak pidana ringan atau yang ancaman hukumannya dibawah 5 tahun.
”Menjawab kebutuhan pelaksanaan keadilan restoratif, Ditjenpas memiliki program Griya Abhipraya, yakni sarana yang dibentuk berdasarkan kebutuhan sistem hukum nasional sebagai upaya pemulihan warga binaan kembali ke masyarakat,” jelas Pujo.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum Kejaksaan Agung Tanti Adriani Manurung, menyampaikan bahwa pentingnya kerja sama antar lembaga khususnya Kejaksaan dan Kemenkumham dalam mengimplementasikan Pasal 70 KUHP No. 1 Tahun 2023 yang berisi kategori terhadap terdakwa yang dapat tidak diberikan tuntutan pidana penjara dalam proses peradilan pidana. Aspek yang dimaksud itu dapat diperoleh oleh asesmen yang dilakukan terhadap terdakwa oleh pembimbing kemasyarakatan yang didalamnya memuat tentang aspek-aspek tadi.
Penerapan keadilan restoratif harus memperhatikan dengan kebudayaan dan ciri khas dari negara Indonesia, sehingga pidana alternatif yang dijatuhkan dapat tepat sasaran, tidak hanya mencontoh dari negara lain karena setiap negara berbeda ciri khas masing-masing.
”Perlunya mitigasi risiko terhadap implementasi KUHP baru. Pemidanaan penjara yang selama ini diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pada faktanya belum dirasa cukup efektif terutama dalam menurunkan tingkat kejahatan di Indonesia sehingga perlu diadakan kajian lebih lanjut,” imbuhnya lagi. (gin)