INDOPOS.CO.ID – Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga BPKK DPP PKS, Tuti Elfita mengkritisi ditekenknya PP No 28 Tahun 2024 yang salah satunya mengatur penggunaan alat kontrasepsi bagi pelajar.
Tuti menyebutkan, pasal-pasal terkait Kesehatan Reproduksi dalam PP No. 28/2024 perlu mendapat konfirmasi dan dikritisi. Ada beberapa pasal yang tafsirnya akan menjadi liar dan tidak sesuai dengan semangat yang dinyatakan dalam pasal 98 PP tersebut yakni upaya Kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
Tuti menyebutkan, pertama dalam pasal 97 ayat 2 tentang penjaminan hak seksual, sejatinya tidak diatur dalam peraturan yang lebih tinggi. Maka Tuti menyebut sebaiknya frasa Hak Seksual tidak perlu dicantumkan karena dapat membuka peluang legalitas aktivitas seksual menyimpang yang tidak sesuai dengan nilai luhur bangsa dan norma agama.
Lalu pada pasal Pada Pasal 102 poin a. menghapus praktik sunat perempuan. Hal ini tidak diatur di UU No 17/2023 dan bertentangan dengan ketentuan syariah agama Islam (Fatwa MUI No 9A Th 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan) dan melanggar UUD 1945 Pasal 28E ayat (1), serta bertentangan dengan Pasal 98 dalam PP No. 28/2024. Maka pasal 102 poin a ini perlu dihapus.
“Pasal 102 poin b – e terkait upaya kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah perlu disikapi dengan kehati-hatian. Sangat diperlukan klausul pengawasan ketat melekat terhadap konten dan penyampaian edukasi kesehatan reproduksi yang memuat penyimpangan seksual/orientasi seksual menyimpang,” terang Tuti dalam keterangan, Jumat (9/8/2024).
Lalu yang menjadi heboh di masyarakat adalah Pasal 103, pada ayat (4) huruf e : frasa penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja harus dihapus dari PP No. 28/2024, sebab ada kesan pembolehan perzinaan di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional dan Profil Pelajar Pancasila.
“Penyebutan perilaku seksual yang sehat, aman dan bertanggung jawab pada pasal 104 sebaiknya direvisi menjadi hubungan seksual yang dilakukan dalam pernikahan yang sah secara negara dan agama agar tidak meluaskan tindak perzinahan,” papar dia.
Lalu menurut Tuti pada Pasal 104, ayat (2), h. melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual yang tidak dikehendaki perlu diperbaiki agar tidak ambigu, memberi ruang pada aktivitas seksual yang menyimpang,
“Pada Pasal 104 ,ayat (3) Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada e. penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok yang berisiko. Poin ini perlu direvisi pada frasa PUS menjadi Pasangan Suami Istri yang terikat pernikahan,” kata dia.
(nas)