INDOPOS.CO.ID – Cita-cita Indonesia menjadi lumbung pangan dunia bukanlah sebuah kemustahilan karena pada dasarnya Indonesia telah menjadi lumbung pangan dunia dalam arti yang luas. Saat ini Indonesia bersama Malaysia tercatat sebagai eksportir terbesar minyak kelapa sawit di dunia yang digunakan untuk minyak makan. Indonesia juga bersama Filipina menjadi eksportir minyak kelapa di dunia yang penggunaan terbesarnya untuk pangan.
“Jika digabungkan kelapa sawit dan kelapa saja, saat ini Indonesia terbukti mampu menjadi penghasil minyak makan terbesar di dunia. Keduanya adalah produk pangan dalam artian luas yang masuk dalam hampir setiap menu kuliner yang dikonsumsi manusia,” kata Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) Prof Dr Muhammad Syakir MS.
Di Indonesia memang produk minyak kelapa sawit dan minyak kelapa dihasilkan oleh pertanian di sektor tanaman perkebunan karena berasal dari tanaman tahunan. Namun, sesungguhnya dari perspektif produknya minyak kelapa sawit dan minyak kelapa, termasuk sembilan bahan pokok alias sembako yang dikenal sebagai minyak goreng.
“Di kedua komoditi tersebut, Indonesia telah menjadi lumbung pangan dunia. Sukses di sektor perkebunan yang menghasilkan minyak goreng terbesar di dunia itu menjadi pendorong untuk mewujudkan kedaulatan pangan di komoditi lain seperti tanaman pangan primer padi,” kata Syakir.
Sektor tanaman pangan primer, yaitu padi sudah semestinya berintegrasi dengan sektor perkebunan. Integrasi tersebut dapat mendongkrak produksi padi untuk mewujudkan cita-cita menjadi lumbung pangan dunia.
“Indonesia membutuhkan terobosan integrasi tanaman pangan padi dengan ekosistem perkebunan. Tanpa terobosan, stok pangan bisa terganggu karena pertumbuhan populasi penduduk tidak bisa dibendung,” kata Syakir.
Indonesia juga menghadapi banyak cekaman yang menjadi kendala produksi padi. Sebut saja cekaman iklim karena el nino dan la nina yang selalu datang silih berganti. Demikian pula degradasi lahan dan penciutan luas lahan terus terjadi.
“Padi tergolong tanaman yang sensitif terhadap berbagai cekaman, sehingga butuh banyak terobosan. Tidak bisa hanya bergantung pada satu terobosan. Dengan banyak terobosan terbukti Indonesia pada 2017-2021 bebas impor beras medium,” kata Syakir yang juga menjabat sebagai Tenaga Ahli Menteri Pertanian itu.
Menurut Syakir, sektor perkebunan merupakan andalan dan penyokong utama bidang pertanian di Indonesia. Perkebunan menjadi penyumbang pendapatan nasional dan menjadi penyumbang terbesar devisa negara Indonesia dari bidang pertanian seperti terlihat pada nilai ekspor komoditas-komoditas perkebunan dalam lima tahun terakhir.
Bahkan, pada era Covid 19 ketika perekonomian lesu, sektor pertanian tetap tumbuh positif berkat kontribusi komoditas perkebunan yang tetap bertahan meskipun subsektor lainnya tumbuh negatif.
“Ekosistem perkebunan lebih tangguh menghadapi krisis, sehingga menopang sektor lainnya,” kata Syakir yang juga peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu
Menurut Syakir, ekosistem perkebunan di tanah air memang relatif lebih baik dibandingkan dengan ekosistem pertanian lahan pangan. Pengelolaan komoditas perkebunan yang lebih modern dan terukur; inovasi teknologi yang lebih maju; serta sumber daya manusia sebagai pengelola yang secara proporsional lebih terdidik membuat sektor perkebunan lebih unggul dibanding pertanian tanaman pangan. Sistem rantai pasok pada komoditas perkebunan juga menjadi lebih efektif dan efisien.
Di sisi lain, Indonesia sebagai negara agraris dengan kekayaan alam melimpah, memiliki potensi besar untuk menjadi lumbung pangan dunia. Berbagai komoditas pangan seperti padi, jagung, kedelai, berpeluang mengikuti jejak keunggulan komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, kopi, teh, kakao, dan karet yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.
Namun, di tengah potensi yang besar ini, tantangan untuk mewujudkan kemandirian pangan masih sangat nyata sehingga komoditas pangan strategis membutuhkan penguatan yang lebih komprehensif.
Produksi pangan selain padi juga menghadapi tantangan perubahan iklim, degradasi lahan, serta penciutan luas lahan telah menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan produksi pangan nasional.
Tanaman pangan yang umumnya tanaman semusim memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman perkebunan yang umumnya merupakan tanaman tahunan. Sinergi sektor perkebunan—yang memiliki ekosistem yang lebih mapan—dengan sektor pangan diharapkan mampu menjadi katalisator bagi Indonesia menuju lumbung pangan dunia.
“Para stakeholder di sektor perkebunan dapat menjadi pengungkit untuk meningkatkan produksi di sektor pangan,” tandas Syakir.
Menurut Ketua Panitia Focus Group Discussion (FGD) Peragi Dr Ir Prama Yufdy, contoh sinergi sektor perkebunan dengan tanaman pangan adalah penggunaan sebagian lahan perkebunan yang belum dikelola untuk tanaman pangan atau tumpangsari tanaman perkebunan dengan tanaman pangan maupun integrasi dengan ternak.
Sebut saja jagung di bawah tegakkan perkebunan kelapa atau jagung di bawah tegakkan perkebunan kelapa sawit.
Demikian pula padi gogo di bawah tegakkan perkebunan kelapa. Ternak seperti sapi juga dapat diintegrasi dengan perkebunan sawit dan kelapa.
“Selama ini sinergi tersebut telah diterapkan di beberapa tempat, tetapi belum banyak yang melakukannya secara profesional dengan manajemen yang baik karena umumnya dilakukan oleh perkebunan rakyat dan pertanian rakyat,” kata Prama.
Menurut Syakir, terobosan integrasi tanaman padi dengan ekosistem perkebunan dapat menjadi penyokong kebijakan pemerintah yang dalam dua bulan terakhir ini semakin membaik.
Data dari Badan Pusat Statistik berdasarkan perhitungan KSA amatan Juni 2024, maka neraca untuk potensi produksi pada Agustus dan September 2024 sudah tumbuh positif 0,08-0,38 juta ton. Angka itu diperoleh dari asumsi konsumsi bulanan 2,58-juta ton dengan produksi 2,66-2,96 juta ton.
Data tersebut sangat menggembirakan karena pada bulan yang sama tahun lalu neraca produksi dan konsumsi masih bernilai negatif.
“Sukses ini harus terus dipercepat agar produksi pangan tidak mengalami kemunduran kembali,” pungkas Syakir.
Ekosistem perkebunan juga harus berintegrasi dengan beragam tanaman pangan lain agar keragaman pangan di Indonesia tetap terjaga. Di daerah yang makanan pokoknya jagung dapat dikembangkan jagung. Demikian pula yang sagu dan singkong, maka dikembangkan sagu dan singkong.
“Pangan pokok rakyat harus kembali ke khittah yaitu berbasis kultur dan ekosistem. Jangan semua bergantung pada padi,” kata Syakir.
Peragi melihat peluang ekosistem perkebunan seperti lahan yang luas, manajemen modern, teknologi yang maju, serta sumberdaya manusia yang lebih baik dapat menjadi pengungkit meningkatnya produksi pangan menuju Nusantara Baru Indonesia Maju yang berdaulat pangan. Tentu harapan tersebut tidak mungkin tercapai tanpa keterlibatan semua pihak terkait untuk bersama-sama mewujudkannya.
“Secara konsep integrasi pangan karbohidrat dan pangan protein dapat diintegrasikan dengan perkebunan, tetapi secara teknis dibutuhkan kebijakan dan modifikasi agronomik agar semua komoditi perkebunan, pangan, dan ternak dapat berproduksi optimal. Para ahli terkait dibutuhkan untuk merumuskannya,” kata Syakir.
Berkenaan dengan hal tersebut Perhimpunan Agronomi Indonesia bersama Perkebunan Nusantara berencana mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Strategi Indonesia Mencapai Lumbung Pangan Dunia: Potensi Sektor Perkebunan untuk Kemandirian Pangan Nasional FGD yang akan dipandu oleh Ketua Peragi Prof Dr Edi Santosa, SP MSi. sebagai moderator.
Pembicara kunci Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III (Persero)bDr Ir Mohammad Abdul Ghani diundang untuk menyampaikan materi Perkebunan pilar strategis penopang kemandirian pangan; sementara narasumber lain Prof Dr Rachmat Pambudi dari IPB University menyampaikan Skenario menuju kemandirian pangan nasional; Prof Dr Ir Sudradjat M.S, Dewan Pakar Peragi menyampaikan Potensi perkebunan untuk kemandirian pangan nasional; Ir Rasidin Azwar MSc PhD dari Tim Pakar Appertani menyampaikan Optimasi pemanfaatan lahan perkebunan untuk penyediaan pangan karbohidrat (padi dan jagung); dan Prof Dr Luki Abdullah dari IPB University menyampaikan paparan Pengembangan ternak terintegrasi pada ekosistem Perkebunan untuk penyediaan protein (susu dan daging).
FGD tersebut direncanakan di Gedung Display, BSIP Perkebunan, JalanTentara Pelajar No 1, Kota Bogor, Jawa Barat. Diharapkan kehadiran para pembicara kunci dan narasumber dapat memberikan rumusan yang dapat menjadi pertimbangan pemerintah dan para stakeholder tanaman perkebunan dan tanaman pangan untuk bersinergis mewujudkan Nusantara Baru Indonesia Maju memiliki kedaulatan pangan. (srv)