INDOPOS.CO.ID – Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mendorong kementerian/lembaga (K/L) yang menyelenggarakan pendidikan internal untuk mulai mempertimbangkan memakai standar sistem pendidikan nasional (sisdiknas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Hal itu diucapkam Dede dalam menyoroti dugaan kasus bullying yang terjadi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip).
“Tindakan bullying juga kekerasan kerap kali terjadi, itu lah kenapa kami sering mengimbau bahwa K/L perlu menyelenggarakan pendidikan di bawah sistem UU Sisdiknas,” kata Dede Yusuf dalam keterangannya, Rabu (21/8/2024).
Dede menilai tidak adanya penerapan sisdiknas dalam sekolah Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan seperti pada spesialis kedokteran. Sehingga, kata dia, sistem pengawasan terhadap program pendidikan menjadi kurang.
“Kelemahan dari K/L lainnya ada pada fungsi pengawasan, nah sementara kita tahu kalau di Kemendikbud dengan sisdiknas itu banyak pemantauan dari mulai orang tua, guru, satgas antibullying. Ada permendikbudnya,” ucapnya.
Dede menyebut pihaknya juga tidak dapat melakukan pengawasan terhadap kementerian/lembaga yang menyelenggarakan pendidikan internal karena instansi-instansi tersebut tidak mengikuti standar sisdiknas yang pusatnya bermuara pada Kemendikbud. Padahal, lanjut dia, sisdiknas yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 di mana aturan terbarunya sedang digodok melalui revisi undang-undag (RUU) di Komisi X DPR mengatur secara detail tentang pencegahan bullying atau perundungan di lingkungan pendidikan.
“Kalau di kementerian/lembaga sepertinya sudah sering terjadi berulang tanpa ada fungsi pengawasan yang jelas. Maka dari itu kita dorong untuk menerapkan Sisdiknas agar lebih mudah dalam pengawasannya,” kata Dede.
Kemudian, legislator dari dapil Jawa Barat II ini menilai penerapan sisdiknas dapat mengurangi aksi-aksi bulllying di lingkungan pendidikan karena ada aturan yang terstruktur.
“Apalagi ternyata masalah bullying di PPDS ini sudah mengakar dan menjadi budaya. Sisdiknas bisa menjadi acuan agar program pendidikan yang diselenggarakan sendiri oleh kementerian/lembaga berjalan dengan pengawasan penuh. Tentunya tak hanya pada program spesialis dokter ya, tapi semua,” jelas dia.
“Kalau kayak sekarang kan jalan sendiri, apa yang terjadi dalam program pendidikannya hanya diketahui mereka saja. Tahu-tahu ramai saat ada kasus kaya sekarang, jadi pencegahan dan pemantauannya kurang,” sambung Dede.
Dia juga berharap agar kementerian/lembaga terkait yang menyelenggarakan pendidikan mengikuti sistem tersebut agar setidaknya ada payung hukum yang jelas dalam penanganan dan pencegahannya di ranah pendidikan.
“Harapan kami semua K/L lain yang menyelenggarakan pendidikan harus mengikuti sisdiknas agar pengawasan dan controlingnya tetap ada. Maka kami selalu mendorong agar K/L lain itu menggunakan standar pendidikan yang digunakan Kemendikbud yaitu sisdiknas ini, termasuk standart pengawasannya,” sambung Dede.
Terlepas dari itu, Dede juga mengecam tindakan kekerasan maupun bullying di PPDS Undip. Dia mengungkit kematian dr. Aulia yang diduga bunuh diri akibat tak kuat menahan perundungan dari seniornya.
“Bullying tidak boleh terjadi, kita tidak bisa pungkiri ini bisa terjadi bukan hanya di sekolah tetapi juga di kantor dan di mana saja. Efek dari bullying bisa berdampak dalam waktu yang panjang, tidak hanya hari ini melainkan juga pada masa depan korban,” terang Dede.
Selain kasus dr Aulia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan menerima ratusan laporan terkait bullying senior ke junior pada program PPDS hingga tak sedikit yang mengaku ingin bunuh diri akibat aksi-aksi perundungan itu.
Beberapa di antaranya seperti junior di PPDS yang diwajibkan menyediakan makanan kepada senior dalam waktu-waktu dan kondisi yang tidak wajar. Lalu ada juga hukuman fisik hingga ada ‘jatah istri residen junior’ kepada senior.
Peserta PPDS atau residen spesialis pun diketahui harus mengakomodir biaya pesta, perjalanan dengan pesawat, hingga hotel bagi senior dengan nilai biaya yang sangat besar sampai puluhan hingga seratusan juta. Bahkan ada peserta PPDS yang harus rela merangkap menjadi ‘tukang parkir’ dan ‘sopir’ senior untuk antar jemput.
Menurut Dede, kasus-kasus seperti itu sudah masuk ke ranah hukum dan pelaku bisa dijerat dengan ancaman pidana. “Kalau sudah seperti itu kan artinya adanya pemerasan di situ, pelecehan, dan penyalahgunaan wewenang. Sudah masuk pidana dan harus ditindak,” pungkasnya. (dil)