INDOPOS.CO.ID – Pemerintahan mendatang diminta dapat membereskan penerapan konsep power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Sebab, mekanisme tersebut bakal menambah beban masyarakat.
Power wheeling merupakan mekanisme tansfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit swasta ke fasilitas operasi PLN secara langsung. Khususnya dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, penerapan skema tersebut akan merugikan keuangan negara dan BUMN, serta akan menambah beban biaya hidup rakyat.
“Sebagai presiden mendatang, kita berharap Prabowo mau dan mampu mengakhiri agenda oligarki yang merugikan ini. Khusus tentang skema power wheeling, di samping melanggar konstitusi dan berbagai peraturan yang berlaku,” kata Marwan dalam diskusi publik “Tolak Penerapan Skema Power Wheeling Dalam RUU EBET” di Jakarta, Selasa (3/9/2024).
Terdapat aspek legal – konstitusional mendasari penolakan skema tersebut. Pertama, bertentangan dengan konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.
“Dalam hal ini negara diwakili BUMN sebagai pengelola. Jika skema power wheeling diterapkan, maka otomatis penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian beralih kepada swasta,” ujar Marwan.
Kedua, putusan MK Nomor 36/2012 telah menjelaskan dan mempertegas peran penguasaan negara menguasai sektor strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak melalui ketentuan, bahwa pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta.
Ketiga, putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU Nomor 20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945.
“Sehingga, sistem unbundling yang berisi skema power whelling juga inkonstusional, dan harus ditolak,” nilainya.
Sementara secara sosial, negara justru berlaku tidak adil dan bekerja memihak swasta. Yakni memberi kesempatan kepada para pemilik modal, atau bahkan investor asing menikmati keuntungan besar, namun pada saat yang sama menghisap rakyat membayar energi listrik lebih mahal. (dan)