INDOPOS.CO.ID – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menyatakan bahwa anggaran pendidikan 20 persen yang ada selama ini tidak tepat sasaran, mengingat banyak tersebar ke pendidikan kedinasan.
“Banyak sekali masukan-masukan yang sangat berharga. Banyak yang tidak tahu bahwa alokasi anggaran pendidikan ini belum tepat sesuai dengan porsinya. Jadi banyak mungkin yang berada di tempat-tempat (kementerian/Lembaga) lain yang sebetulnya tidak menyelenggarakan pendidikan secara umum tapi lebih banyak kepada pendidikan kedinasan,” kata Dede Yusuf sebagaimana dikutip dari laman DPR RI dalam acara diskusi dengan tema “Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan” yang dihadiri berbagai tokoh bangsa, di antaranya mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Minggu (8/9/2024).
Dede menjelaskan bahwa alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen yang bersifat mandatory spending dari APBN dan APBD perlu dikaji sebab beberapa waktu lalu Menteri Keuangan mengeluarkan pernyataan bahwa mestinya anggaran pendidikan tersebut ini direformulasi dari pendapatan bukan pengeluaran negara.
Karena itu, Dede Yusuf yang juga selaku Ketua Panja Pembiayaan Pendidikan Komisi X menekankan harus ada reformulasi anggaran pendidikan agar tepat sasaran sesuai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
“Kalau kami (Komisi X) hanya punya waktu kurang lebih satu minggu ini untuk menyelesaikan rekomendasi. Kemudian kita bawa ke paripurna (19 september 2024), mungkin kita akan berikan kepada Pimpinan DPR. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa menjadi sebuah buku putih Pendidikan. (Hasil dari) ini kita bawa kepada Presiden terpilih supaya nanti Presiden terpilih punya, katakanlah punya ruang waktu untuk bisa mungkin melakukan perubahan pada anggaran berikutnya di APBN-P (2025),” jelas Politisi Fraksi Partai Demokrat ini.
Karena itu, ia menegaskan Komisi X akan terus berjuang menyelesaikan rekomendasi hasil dari Panja Pembiayaan Pendidikan ini hingga 19 September 2024 mendatang. Oleh karena, ia memahami bahwa dalam masa transisi pemerintahan, banyak sekali ruang yang diberikan kepada pemerintah selanjutnya untuk dapat melakukan exercise kebijakan.
“Nah, rekomendasi ini pun insya Allah tadi kita juga akan coba sampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, supaya tahu bahwa yang akan dihadapi ke depan ini adalah hal yang sama,” tegasnya.
Pendapat lainnya diutarakan oleh Ketua Komisi X Syaiful Huda yang menyampaikan bahwa implementasi kebijakan anggaran perlu dievaluasi dan harus dihitung ulang. Evaluasi yang harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan, baik di APBN maupun APBD.
“Poin utamanya adalah kita ingin pemerintah dalam hal ini Kemenkeu dan Bappenas mereformulasi ulang terkait dengan mandatory spending 20 persen pada konteks alokasi dan distribusinya. Jadi, bahwa 20 persen anggaran untuk fungsi pendidikan itu saya kira itu mandat dari undang-undang tapi memang masih ada persoalan terkait dengan alokasi dan distribusinya. (Harusnya) Kementerian Pendidikan Kemendikbudristek yang punya kewenangan,” ucap Syaiful Huda.
Politisi Fraksi PKB itu menerangkan Kemendikbudristek yang mengurusi fungsi pendidikan belum sepenuhnya punya kewenangan, sejak dari perencanaan sampai pada implementasi, terkait dengan mandatory spending 20 persen.
Oleh karenanya dengan adanya diskusi kelompok terpumpun ini, Komisi X minta penguatan dari para tokoh yang hadir supaya fungsi dan peran Kemendikbudristek sebagai rumah penyelenggara pendidikan, dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik serta alokasi anggaran semestinya terkontrol penuh melalui Kementerian tersebut.
“Sebenarnya sudah ada PP Nomor 18 Tahun 2022 yang sudah mengamanatkan bahwa semua proses perencanaan penggunaan 20 persen anggaran (Pendidikan) itu ada di Kemendikbudristek. Nah pada prakteknya ini belum bisa berjalan sehingga menimbulkan beragam persoalan,” terangnya.
Satu di antara persoalan yang terjadi karena Kemendikbudristek tidak sepenuhnya mengelola anggaran Pendidikan tersebut adalah indeks pembiayaan pendidikan tinggi yang berbeda-beda. Menurutnya, ada prodi atau jurusan yang menetapkan biaya masuk mencapai Rp67 juta.
“Padahal pada prodi dan jurusan yang sama itu yang ditetapkan oleh Kemendikbud hanya cukup Rp27 juta. Jadi ada keberlimpahan di satu tempat, tetapi ada kekurangan di tempat lain. Kewenangan (pengelolaan anggaran pendidikan) ini yang harus dituntaskan,” pungkasnya. (dil)