INDOPOS.CO.ID – Komisi Yudisial (KY) menyoroti putusan ringan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pangkalpinang terhadap Toni Tamsil, terdakwa kasus obstruction of justice dalam skandal korupsi tata niaga timah.
“Masih dikompilasi,” kata Juru Bicara Komisi Yudisial, Mukti Fajar kepada INDOPOS.CO.ID pada Senin (9/9/2024)
Menurutnya, masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan menunggu informasi terkini dengan sabar, serta dimohon untuk terus memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada Komisi Yudisial dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
“Nanti komisi yudisial update kabarnya,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar, menyatakan bahwa pihaknya akan mengajukan banding terhadap putusan yang dianggap ringan terhadap Toni Tamsil alias Akhi, yang merupakan terdakwa dalam perkara perintangan penyidikan kasus mega korupsi tata niaga timah.
“JPU pada Rabu, 4 September 2024, telah mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan tersebut,” katanya singkat kepada indopos.co.id, pada Kamis (5/9/2024).
Diketahui putusan pidana penjara selama tiga tahun dan denda sebesar Rp5 ribu terhadap Toni Tamsil terus memicu kontroversi di kalangan masyarakat.
Indonesian Corruption Watch (ICW) juga mengecam tuntutan JPU dan vonis hakim yang dinilai sangat merusak integritas hukum di Indonesia.
“ICW mengkritik putusan dan tuntutan jaksa terhadap Toni Tamsil dalam kasus korupsi karena dianggap tidak mencerminkan keadilan,” ujar Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia.
ICW mengkritik putusan dan tuntutan jaksa terhadap Toni Tamsil dalam kasus korupsi karena dianggap tidak mencerminkan keadilan.
Menurut ICW, jaksa penuntut umum memilih untuk menggunakan pidana minimal yang diatur dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan denda Rp200 juta.
“Padahal, Pasal 21 sebenarnya memberikan ruang untuk menjatuhkan hukuman maksimal hingga 12 tahun penjara dan denda hingga Rp600 juta,” jelasnya.
“Dari sudut pandang ICW, tuntutan ini dianggap tidak mencerminkan komitmen serius dalam pemberantasan korupsi,” pungkasnya. (fer)