INDOPOS.CO.ID – Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyebut, tragedi penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada awal reformasi atau tepatnya tahun 1998 bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
“Enggak,” kata Yusril saat disinggung tragedi 1998 masuk pelanggaran HAM berat atau tidak saat di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10/2024).
Menurutnya, selama beberapa tahun terakhir tidak terjadi kasus pelanggaran HAM yang berat. Ia membagikan pengalamannya ketika masih menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tahun 1999-2001 pada Pemerintahan Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid.
“Waktu saya jadi menteri hakim dan HAM, saya 3 tahun menjalani sidang komisi HAM PBB di Jenewa dan kita ditantang menyelesaikan soal-soal besar,” ujar Yusril.
Ia menyadari, kala itu banyak angggapan terjadi pelanggaran HAM yang berat. Bahkan telah membentuk pengadilan HAM, Ad Hoc maupun pengadilan konvensional.
“Jadi sebenarnya, kita tidak menghadapi persoalan pelanggaran HAM yang berat dalam beberapa tahun terakhir,” nilai Yusril.
Ia menambahkan, setiap kejahatan merupakan pelanggaran HAM tapi tidak semuanya masuk kategori pelanggaran HAM berat. Menurutnya, kasus yang masuk jenis pelanggaran tersebut ialah pemusnahan massal.
“Pelanggaran HAM yang berat itu kan genoside, ethnic cleansing. Tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir, mungkin terjadi justru pada masa kolonial ya pada waktu awal peran kemerdekaan kita 1960-an,” jelas Yusril.
Ia menegaskan kembali, tak ada pelanggaran HAM berat yang terjadi beberapa tahun terakhir. “Tapi dalam beberapa dekade terakhir, ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” imbuh Yusril.
Tragedi 1998 telah disorot banyak pihak karena belum ada kejelasan penyelesaiannya. Bahkan era pemerintahan Presiden ketujuh Indonesia Joko Widodo (Jokowi), KontraS mendesak melakukan penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998 secara berkeadilan, substantif, dan mengedepankan martabat korban. (dan)