Staf Ahli Mendapat Jabatan Prestisius di Banten, Ini Kata Mantan Dirjen Otda

Penjabat Sekda Banten

M Tranggono staf ahli Gubernur yang dilantik menjadi Penjabat Sekda Banten. Foto: Yasril/indopos.co.id

INDOPOS.CO.ID – Jabatan Staf Ahli kepala daerah baik itu Staf Ahli Gubernur, Staf Ahli Bupati/Wali Kota, masih dilihat sebelah mata dan identik dengan jabatan ‘buangan’ di pemerintah daerah.

Tak dapat dipungkiri, meski tak semuanya bahwa pejabat yang diberi jabatan sebagai Staf Ahli kepala daerah adalah berasal dari pejabat yang ‘kurang disukai’ atau dinilai kurang berprestasi oleh kepala daerah. Namun, tidak demikian di Provinsi Banten.

Staf Ahli Gubernur (SAG) Bidang Pembangunan dan Keuangan M Tranggono yang sebelumnya menjabat sebagai kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataaan Ruang (PUPR) Provisi Banten hasil dari seleksi terbuka (Selter), malah diberi jabatan prestisius sebagai Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) oleh Pj Gubernur Banten Al Muktabar.

M Tranggono kepada indopos.co.id menegaskan, bahwa stigma yang melekat di kalangan ASN (Aparatur Sipil Negara), bahwa jabatan Staf Ahli adalah pejabat yang terbuang tidak sepenuhnya benar.

Bahkan Tranggono mengatakan, jabatan Staf Ahli adalah sebagai momentum untuk meningkatkan kapasitas diri, bukanlah jabatan yang dibuang atau sebagai cobaan seorang ASN sebagaimana yang selama ini muncul stigma di kalangan ASN.

“Cobaan itu ada dua, cobaan dalam kesenangan dan cobaan dalam keadaan kesedihan. Bahwa saata saya dimasukkan ke SAG (Staf Ahli Gubenur) seolah-olah saya dimasukkan ke dalam kotak. Enggak menurut saya, karena itu untuk membuka wawasan saya. Bedanya di SAG saya tidak punya pasukan, kalau di Pj Sekda saya punya pasukan,” ujarnya.

Staf Ahli Vs Staf Khusus di Daerah

Munculnya stigma bahwa jabatan Staf Ahli di Pemerintahan Daerah adalah jabatan yang ‘dibuang’ tidak dibantah oleh mantan Direktur Jebderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri ) Soni Sumarsono.

Menurut Soni yang juga mantan Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara,serta Plt Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan, sering mendengar bila seorang pejabat di “staf Ahlikan” oleh kepala daerah, kesan yang terlintas adalah perasaan “dibuang”, khususnya mereka yang sebelumnya mantan Kepala Dinas atau Kepala Badan di organisasi perangkat daerah.

Hal ini menurut Soni bisa dimengerti, karena faktanya selama ini memang demikian adanya.

“Jabatan yang semestinya ahli dan berperan sebagai think thank Kepala Daerah ini, memang belum dimainkan peranannya oleh Kepala Daerah. Fenomena ini terjadi di hampir seluruh Daerah, tidak saja di tingkat provinsi, namun juga di kabupaten/kota. Bahkan juga di Pemerintahan Pusat sekalipun,” terang Soni kepada indopos.co.id, Sabtu (2/7/2022).

Soni yang kini menjadi dosen di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Ini menambahkan, menyadari hal ini maka reposisioning peran Staf Ahli Kepala Daerah pun dilakukan dengan terbitnya Permendagri Nomor 134 Tahun 2018 yang mengatur tugas, tata kerja, dan standard kompetensi para staf ahli.

“Bacaan kita, tentu positif karena sudah jelas dasar hukum, arahan, dan acuan standard kompetensinya. Namun mengapa belum juga efektif ?,” kata Soni balik bertanya.

Menurut Soni, ada 3 alasan yang membuat jabatan Staf Ahli belum efektif political will Mendagri ini di Daerah.

Yaitu, Di luar jabatan struktural staf ahli (Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama), para Kepala Daerah umumnya mengangkat beberapa Staf Khusus dan Tenaga Ahli (non ASN) yang umumnya dari bekas Tim Suksesnya, dengan tugas dan fungsi mirip atau bertabrakan dengan tugas pokok dan fungsi para Staf Ahli.

Selain itu, kata Soni,kepercayaan Kepala Daerah terhadap para staf ahli tidak sekuat dibanding kepercayaan terhadap para staf khusus dan/atau tenaga ahli (outsourcing) yang sebagian besar direkrut karena kedekatan atau balas jasa sebagai Tim Sukses (spoil system recruitment).

“Kondisi ini yang menjadikan para staf ahli selalu dalam posisi serba salah dan sering merasa sebagai pelengkap penderita mewakili acara yang tidak penting dan ecek-ecek,” ungkapnya.

Tak hanya itu, kompetensi para staf ahli umumnya kurang spesifik dan tidak memiliki standard yang jelas dan terukur, sehingga para Kepala Daerah enggan untuk memberikan tugas strategis dan meminta pertimbangan kebijakan.”Sementara itu, pemerintah tidak memberikan kesempatan untuk sebuah pelatihan khusus bagi para staf ahli,” cetusnya.

Soni melanjutkan, mengingat perasaan sebagai pejabat “buangan”, maka motivasipun terpengaruh menjadi melemah dan pasrah sambil menunggu kemungkinan posisi lain yang lebih opetasional semisal menjadi Kepala Dinas/Badan.

“Permendagri Nomor 134 Tahun 2018 yang secara normatif telah memberi empowerment kepada jabatan staf ahli, umumnya tidak diindahkan dan dijabarkan dalam kebijakan kepala daerah di daerah masing-masing, bahkan mungkin para Kepala Daerah tidak menyadari keberadaan Permendagri Nomor 134 th 2018 tersebur,’ tuturnya.

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIPAN) Jakarta, dan anggota tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional ini mengatakan, fenomena tersebut mungkin tak lagi terasa manakala daerah dipimpin oleh seorang Penjabat Kepala Daerah (Pj.Gubernur atau Pj Bupati/Walikota) yang harus memimpin daerah secara profesional dan dijiwai dengan sprit kepamong-prajaan yang mumpuni, tidak terikat dengan pola permainan politik praktis sbgmn kepala daerah difinitif dari unsur parpol.

“Atas dasar pemikiran tersebut, maka saya berharap kepada Pj Sekda Banten M Tranggono sebagai pengurus asosiasi staf ahli, dapat segera menyelenggarakan Rakornas (Rapat Kooordinasi Nasional) yang mengundang perwakilan staf ahli seluruh Indonesia untuk membahasnya,” kata Soni.

Hasil dari Rakornas tersebut, kata Soni, nantinya disampaikan kepada Mendagri sebagai bahan masukan untuk sosialisasi nasional kepada para kepala daerah mengenai optimalisasi peran staf ahli.

Selain itu, juga sebagai bahan masukan untuk Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk merancang Standard Kompetensi Staf Ahli dan menyelenggarak pelatihannya,serta bahan untuk Sekretaris Daerah (Sekda) dalam mengorganisir kembali tata hubungan kerja dan tugas-tugas staf ahli di Daerah, terutama dikaitkan dengan Organisasi Perangkat Daerah(OPD) lain maupun terhadap Kepala Daerah sebagai ahli yang menyiapkan bahan kebijakab pimpinan.

“Apapun image staf ahli sebagai jabatan transisi, “buangan”, dan “kotak 13” (sial), harus segera diakhiri dengan upaya nyata. Harapan masih terbuka, karena pintu reformasi birokrasi, sedang terbuka. Jadilah staf yang memang ahli, jangan hanya jadi ahli staf,” tukasnya. (yas)

Exit mobile version