BPN Akui Sulitnya Mensertifikatkan Tanah ‘Pusako Tinggi’ di Minang

bpn

(dari kiri ke kanan) Kepala BPN Kota Padang Antoni Selian, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah dan Kakanwil BPN Sumatera Barat Syaiful. (foto istimewa)

INDOPOS.CO.ID – Kurang antusiasnya masyarakat Minang atau Sumatera Barat membuat sertifikat tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) bukan karena kurangnya sosialisasi, namun masih adanya anggapan di masyarakat setempat jika tanah sudah bersertifikat akan mudah untuk dijual, terutama tanah warisan atau tanah Pusako Tinggi.

Apalagi, ada sebagian masyarakat di tanah Minang, menjual tanah pusaka atau warisan adalah tindakan tabu di kalangan masyarakat Minangkabau. Konon, jika menjual lahan kepada tetangga, malunya bukan main. Tidak ada kebanggaan bagi orang Minang jika menjual harta pusaka.

“Ini salah satu kendala bagi BPN dalam program PTSL di Minang, termasuk di Kota Padang,” ungkap Kepala Kantor Pertanahan Kota Padang, Antoni Selian
kepada Indopos.co.id, Selasa (4/10/2022).

Menurut Antoni, pemahaman masyarakat Minang terkait tanah warisan atau Pusako Tinggi sama dengan suku Baduy di Kabupaten Lebak, Banten.

” Kalau tanah pusaka atau warisan disertifikatkan, takut kalau sertifikat itu nanti beralih atau dijual kaum ke orang perorangan, jadi habis harta pusaka tinggi. Itu salah satu alasannya, kenapa sulit Tanah Pusaka itu disertifikatkan,” terang Antoni yang lama bertugas di Kanwil BPN Banten ini.

Persoalan sertifikasi tanah Pusako Tinggi ini juga menjadi pembahasan oleh Kakanwil BPN Sumatera Barat, Saiful dengan Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah dan dirinya selaku Kakantah Kota Padang.

“Saat kami menunggu kedatangan Pak Menteri ATR/BPN, saya, Pak Kakanwil dan Pak Gubernur juga membahas percepatan penyelesaian masalah tanah Pusako Tinggi, tanah ulayat, pengadaan tanah dan sertifikat tanah aset Pemprov Sumbar,” tandasnya.

Sulitnya mensertifikatkan tanah warisan di Sumatera Barat juga diakui oleh Asril, salah seorang pejabat Kementerian ATR BPN yang berasal dari Bonjol, Kabupaten Pasaman yang mengaku hingga kini tanah warisan milik keluarganya juga belum bersertifikat.

Padahal, di daerah asalnya itu ada program PTSL. “Kalaupun tidak ada program PTSL, saya bisa saja minta tolong ke Kantah setempat untuk membantu pembuatan sertifikat, namun ada sebagian ninik mamak (paman) yang tidak setuju tanah itu disertifikatkan karena kuatir nantinya tanah itu dijual,” ungkap Asril. (yas)

Exit mobile version