Sempurmayung, Kampung Adat di Tengah Perubahan

Sempurmayung, Kampung Adat di Tengah Perubahan - Kampung Sempurmayung - www.indopos.co.id

Suasana Kampung Sempurmayung di Desa Cimarga, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Foto : Poltekesos Bandung

INDOPOS.CO.ID – Suatu yang langka, ditengah kemajuan jaman yang sangat masif, masih ditemukan sebuah kawasan yang bertahan pada kearifan lokal, berupa tradisi adat istiadat lama yang menjadi pedoman dalam aktifitas kesehariannnya.

Tersebutlah sebuah kampung bernama Sempurmayung terletak di Desa Cimarga, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat (Jabar), berjarak 60 km dari Kota Bandung.

Kampung ini berada di kaki Gunung Lingga, berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), berkontur berbukit bukit, dengan mata pencaharian utama pertanian lahan basah (sawah) dan lahan kering (berladang), berpenduduk 65 KK.

Penduduk yang tingga di sini adalah warga dari Kampung Cipeundeuy yang pada awalnya adalah transmigran yang kembali ke kampung halamannya. Ini karena alasan kerusuhan di daerah transmigrasinya, yaitu Sambas, Kalimantan Barat dan Sampit, Kalimantan Tengah.

Kampung Sempurmayung ini masih mempertahankan arsitektur rumah Sunda, berupa rumah panggung, di bagian bawahnya digunakan untuk kebutuhan menyimpan ternak, atau hasil bumi. Bagian lain yang menarik dari kampung ini adalah ketaatan pada tradisi, adat dalam interaksi sosial, ritual pada setiap aktifitas, semisal dalam melakukan aktifitas mata pencaharian, berupa selamatan, ruwatan.

Inilah yang terekam Tim Pengabdian Masyarakat Reguler, Politeknik Kesejahteraan Sosial (Poltekesos) Bandung antara lain Suharma, Nurhayani, Marwanti, Hilmi, dan Sumarjo saat melakukan pendalaman atas informasi yang masuk tentang kearifan lokal Kampung Sempurmayung.

Kearifan lokal di Sempurmayung ini tidak serta merta menolak perubahan. Sudah banyak produk produk baru yang masuk, semisal jaringan seluler, kendaraan, roda empat, roda dua. Perubahan itu dimaknai oleh warga kampung, sebagai sebuah keniscayaan, maju berkembang tanpa kehilangan tradisi.

Seperti yang disampaikan oleh salah seorang warga Dede Wahyudin, warga beraktivitas menjaga relasi sosialnya dengan kepatuhan menjalankan tradisi, semisal menyimpan kupat, leupeut, tantang angin —menjaga keserasian hubungan manusia dengan alam.

Pakar antropologi mengatakan kearifan lokal adalah benteng ketahanan sosial, karena berakar pada nilai, norma yang dipertahankan secara turun temurun dari generasi sebelumnya, sebagai kontrol sosial melihat kelebihan dan kekurangan (inward looking, outward looking).

Melihat potensi yang ada di kampung ini, suatu hal yang penting dilakukan ke depan adalah penguatan kearifan lokal ini sebagai jembatan bagi pemberdayaan warga dan potensinya.

Suharma, anggota tim pengabdian menyebutkan, tradisi lama, nilai dan norma bisa menjadi alat bantu bagi upaya mengembangkan potensi, mengurangi potensi kelemahan. Pemberdayaan menjadi sebuah pilihan untuk kemajuan warga.

Pemberdayaan ini tidak serta merta soal materi atau fisik tetapi lebih pada penguatan kelembagaannya, sebagai investasi sosial mempertahankan kohesivitas sosial warganya.

Poltekesos akan menganalisa seluruh gambaran potensi dan masalah di kampung adat ini, untuk selanjutnya dipertimbangkan untuk dilakukan intervensi baik berupa penguatan kelembagaan ataupun alternatif pilihan yang paling dirasakan warga untuk kemajuan kampung ini ke depan. Demikian dikatakan oleh anggota tim pengabdian masyarakat lainnya, Marwanti dan Nurhayani. (aro)

Exit mobile version