INDOPOS.CO.ID – Geliat pertumbuhan ekonomi terjadi di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara setelah hadirnya program food estate sejak 2022.
Dari tiga desa ada 1000 hektar yang ditargetkan, baru sekita 400 hektar yang sudah beroperasi, dan hampir 80 persen dikelola perusahaan dan 20 persen oleh masyarakat lokal, baik dengan pola kelompok atau perorangan.
“Ya, kalau secara kasat mata kan udah banyak lah kemajuan. Setidaknya infrastuktur jalan sudah terbangun. Namun kalau nilai ekonomi yang tumbuh harus diukur dengan hitungan berdasarkan pendataan baik hasil perusahaan atau pun perorangan,” ujar Kepala Dinas Pertanian Humbang Hasundutan, Ir Junter Marbun, saat dihubungi, Senin (12/8/2024).
Lebih lanjut dia mengatakan, sejak 2022 implementasi program food estate di Humbang Hasundutan, pemerintah daerah belum menerbitkan retribusi. Sehingga, untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat pascaprogam food estate belum memiliki hitungan baku. Lebih lanjut Junter menyampaikan, banyak juga masyarakat yang salah paham dengan program tersebut, sehingga ada anggapan dan berita yang berseliwiran di masyarakat kalau progam food estate gagal.
“Kalau dibilang gagal sepertinya kurang pas. Mungkin hitungan nya agak berbeda dengan diatas kertas. Ada banyak manfaat yang dirasakan petani, mulai dari sisi disiplin bekerja ada transformasi, sampai pola tanam mereka terjadwal ada perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Kalau petani-petani biasa kan jam 9 belum ke sawah, sekarang jam 7 pagi sudah bekerja,” jelas Junter.
Dia menjabarkan, dukung sarana transportasi yang bisa langsung ke area produksi seperti mendekatkan pasar. Komoditi yang selama ini sudah diproduksi seperti di Desa Ria-ria, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan bawang merah, tomat, cabai, kembang kol, dan wartel.
“Ya mungkin nanti bertambah lagi sesuai dengan kebutuhan pasar,” pungkas Junter.
Sementara itu, Junita Rebeka Marbun yang merupakan masyarakat lokal mengaku program food estate sedianya bisa lebih sukses jika ada pendampingan yang aktif dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Menurutnya, untuk masyarakat awam diberikan program yang bersifat transformasi teknologi harus ada pendampingan hingga sukses. Tidak hanya sekadar ada program lalu masyarakat dibiarkan mengerjakan program yang diinisiasi pemerintah.
“Saya melihat program ini bukan gagal, tapi pendampingan ke masyarakatnya yang tidak berjalan. Rencananya kami akan lakukan pengembangan ini kedepan dengan membuat kolaborasi akadamisi dari ITB dan IPB,” ucap Junita saat ditemui di daerah produksi food estate desa Huta Julu. (ney)