INDOPOS.CO.ID – Adanya keinginan sebagian kelompok masyarakat mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten untuk memeriksa Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar dan TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) terhadap kasus hibah dana Bantuan Sosial (Bansos) Pondok Pesantren Tahun Anggaran (TA) 2018- 2020 terkesan mengada-ada dan membuat sistuasi tidak kondusif jelang pelaksanaan Pemilihan Gubernur Banten 2024, sehingga aksi sekelompok orang itu diduga sarat kepentingan politis.
Hal ini dikatakan oleh Razid Chaniago SH.MH seorang pengamat dan praktisi hukum menyikapi adanya sekelompok orang yang meminta Kejaksaan Tinggi Banten membuka kembali kasus bantuan dana hibah ponpes tahun 2028-2020 yang sudah Inkracht di Pengadilan hingga Peninjauan Kembali (PK).
Menurut pengacara senior ini, proses hukum terhadap kasus dana hibah Pondok Pesantren TA 2018-2020 telah melalui proses panjang hingga sampai pada tingkat Peninjauan kembali, dan para pelaku telah diadili dan menjalani hukuman yang diantaranya Irfan Santoso dan Toton pejabat Biro Kesra Pemprov Banten saat itu.
“Menurut pendapat saya adanya keinginan masyarakat harus dipertimbangkan secara hati hati. Kami mendorong sikap kritis masyarakat serta mengawasi proses hukum, namun yang juga tak kalah pentingnya juga menghargai keputusan yang telah diambil oleh lembaga peradilan sebagai bentuk penghormatan terhadap sistem hukum yang berlaku,” ujar Razid kepada wartawan,Senin (21/10/2024)
Ia menjelaskan, berdasarkan Putusan Kasasi Nomor 5656K/Pid.Sus/2022, terungkap dalam pertimbangan hukum majelis hakim Biro Kesra tidak melaksanakan tugasnya dalam kegiatan perencanaan anggaran. Di samping itu pada pelaksanaan dalam kapasitas dan kewenangan yang ada pada dirinya sebagai bagian dari OPD/unit kerja kegiatan bantuan hibah tidak melakukan evaluasi terhadap proposal permohonan dana hibah dari pondok pesantren, dan tidak melakukan survey ke lapangan tapi menerima data dari Pondok pesantren dan FSPP (Forum Silaturahmi Pondok Pesantren).
“Proses hukum yang dijalankan begitu panjang dari mulai tingkat judec factie hingga ke judex jurist hingga PK sudah ditempuh oleh Irfan dan Toton, dimana pengajuan PK kembali diajukan setelah menjalani hukuman,” ungkap Razid.
Ia menambahkan, pada waktu para pemohon mengajukan upaya hukum PK disertai bukti baru (Novum) , putusan atas PK yang diajukan oleh para pemohon ditolak oleh majelis hakim agung yang memeriksa dan mengadili perkara ini, sehingga putusan menjadi Inkrah.
“Keinginan masyarakat untuk transparasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik patut dihargai, namun penting juga untuk dicermati terhadap kasus tersebut di atas bahwa putusannya telah berkuatan hukum tetap Inkrah tentunya dengan pertimbangan hukum yang mendalam hingga sampai pada tingkat PK,” kata Razid.
“Setahu saya yang dulu mendorong kasus itu diusut oleh Kejaksaan adalah oleh pak Al Muktabar sendiri. Logika sederhananya, jika beliau terlibat tentu kasus itu tidak akan didorong untuk diusut,” sambungnya.
Hal senada dikatakan Hidayat, seorang pegiat sosial di Banten yang merasa heran diseretnya nama Al Muktabar dalam pusaran kasus korupsi dan hibah Ponpes tahun 2018-2020.
“Pak Al Muktabar itu dilantik menjadi Sekda Banten 27 Mei 2019, sementara kasus dana hibah ponpes itu berawal dari tahun 2018. Jika mau, pejabat sebelum Al Muktabar dong yang patut dimintai pertanggungjawaban dalam penyusunan anggaran,” kata Hidayat. (yas)