INDOPOS.CO.ID – Ketua Gerakan Mahasiswa Bhinneka Tunggal Ika (Gema Bhinneka), Gifari Shadad Ramadhan menegaskan, komitmen kerakyatan aktivis gerakan mahasiswa adalah keniscayaan.
Oleh karena itu, satu hal yang harus diingat, jangan sekali-kali menyakiti hati rakyat. Karena, kepandaian dan intelektual sebagai mahasiswa harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mensejahterakan rakyat atau meringankan beban rakyat.
“Setiap generasi selalu memiliki tantangan sendiri, yang tentu sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Salah satu tantangan generasi now (milenial dan gen Z) adalah bagaimana mengelola kecepatan informasi dalam skala besar,” ujarnya, kepada INDOPOS.CO.ID, Selasa (15/8/2023).
Ini tentu berbeda dengan generasi sebelumnya. Namun harus diingat, kemudahan dan kecepatan dalam memperoleh informasi dalam volume besar itu memiliki konsekuensi tersendiri, yakni rawan dengan berita bohong, berpikir instan, kurang kontemplasi dan seterusnya.
“Semoga ini hanya kekhawatiran saya saja sebagai bagian dari generasi now, bahwa kebiasaan berpikir instan, pada gilirannya akan menghasilkan produk yang ‘setengah matang’ (mediocre). Ini yang harus kita hindari,” kata alumni pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Kemudahan dalam akses informasi juga harus berujung pada kesejahteraan rakyat. Dengan keberadaan media sosial, masalah riil di masyarakat seperti soal pangan dan kesehatan, informasinya bisa disebarkan secara cepat, sehingga bisa langsung ditangani oleh pemangku kepentingan.
“Komitmen kerakyatan aktivis gerakan mahasiswa telah terbukti menjadi pilar gerakan civil society hari ini. Mereka bergerak dalam lintas isu, mulai isu internal kampus, perburuhan, hingga soal HAM (hak asasi manusia),” tuturnya.
Dari faktor pendidikan, Generasi Malari telah menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk terus melawan rezim Orde Baru, hingga Soeharto benar-benar turun pada Mei 1998. Sebagai sebuah gerakan mahasiswa, Malari memunculkan seorang tokoh legendaris, yaitu Hariman Siregar, yang menjadi inspirasi bagi aktivis gerakan mahasiswa generasi berikutnya.
Salah satu cara untuk melanjutkan gerakan mahasiswa adalah memastikan kapasitas pendidikan. Aktivis gerakan mahasiswa, khususnya dari masyarakat bawah, harus sekolah yang setinggi-tingginya, agar memperoleh akses menuju kekuasaan.
“Kita bisa belajar dari keluarga penguasa masa lalu, (khususnya) Soeharto, yang sekolah anak-anaknya tidak terlalu berhasil, ketika dana untuk sekolah begitu melimpah. Sungguh ironis memang, sementara Soeharto menyelenggarakan program beasiswa Supersemar,” bebernya.
Jangan juga terlalu percaya pula dengan ucapan bombastis Generasi 1945, yang selalu membanggakan bahwa perjuangan bersenjata adalah elemen terpenting dalam mempertahankan kemerdekaan. Bagaimana mungkin, persenjataan pasukan Indonesia saat itu tidak sebanding dengan militer Belanda.
Jadi faktor pendidikan sebagai penentu, yang paling berperan menuju kemerdekaan. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir dan seterusnya, adalah generasi terdidik di awal Abad 20.
“Dari merekalah aspirasi kemerdekaan mulai ditebarkan. Artinya faktor buku yang lebih menentukan, sementara ‘bambu runcing’ sekadar metafora,” pungkasnya. (rmn)