INDOPOS.CO.ID – Adanya dugaan pelarangan penggunaan jilbab bagi tenaga kesehatan, dokter dan perawat di RS Medistra, Jakarta Selatan, tak hanya menuai kecaman dari masyarakat.
Sejumlah anggota dewan yang duduk di Komisi IX DPR RI juga turut mengeluarkan kecaman. Salah satunya Alifudin yang menyebut adanya pola diskriminasi berbasis agama oleh rumah sakit bertaraf internasional itu.
“Tindakan seperti ini merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi,” kata Alifudin dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (2/9/2024).
“Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak dasar setiap warga negara Indonesia yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun, termasuk oleh institusi pendidikan maupun kesehatan. Ini adalah bentuk diskriminasi yang tidak bisa kita biarkan,” sambungnya.
Alifudin meminta agar Kementerian Kesehatan segera mengambil tindakan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran ini.
“Saya akan memastikan bahwa kasus ini diusut tuntas. Jika terbukti ada kebijakan diskriminatif, pihak yang bertanggung jawab harus dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.
Selain itu, Alifudin juga mengajak seluruh pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk bersama-sama menegakkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman di Indonesia.
“Saya akan mendorong penguatan regulasi untuk melindungi hak-hak tenaga medis, khususnya dalam menjalankan keyakinan agama mereka tanpa rasa takut atau tekanan,” tambahnya.
Alifudin akan terus memantau kasus ini dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa setiap tenaga medis di Indonesia dapat bekerja tanpa adanya diskriminasi atau pelanggaran terhadap hak-hak mereka.
Diketahui, Dugaan ini muncul setelah beredar surat protes dari Dr. dr. Diani Kartini, SpB Subsp. Onk (K), seorang dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit tersebut. Surat tersebut mengungkapkan adanya kebijakan yang membatasi penggunaan hijab di kalangan tenaga medis.
Kasus ini mencuat tidak lama setelah kontroversi larangan jilbab oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang telah menimbulkan keresahan di masyarakat khususnya bagi Perawat dan Dokter yang menggunakan hijab.
Komentar lain diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati yang mengatakan, isu pelarangan penggunaan jilbab saat bekerja tidak lagi relevan, karena undang-undang menjamin pekerja untuk tetap melaksanakan kewajiban agamanya di tempat kerja.
Kurniasih menegaskan menggunakan jilbab di tempat kerja adalah penggunaan hak kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945, UU HAM, Konvensi ILO No. 111, dan UU Ketenagakerjaan.
Menanggapi berita tentang larangan berjilbab di salah satu RS ternama di Jakarta, Kurniasih meminta kepada seluruh rumah sakit, klinik dan fasilitas layanan kesehatan lain, baik milik pemerintah maupun swasta, untuk memberikan jaminan kebebasan menjalankan perintah agama bagi seluruh pekerjanya, termasuk berjilbab.
“Sebab menjalankan keyakinan beragama di tempat bekerja seperti berjilbab adalah hak asasi manusia yang diatur dan dilindungi oleh undang-undang. Saya meminta agar Kementerian Tenaga Kerja dan Kementrian Kesehatan, bisa turun menyelidiki laporan ini,” kata Kurniasih.
Khusus untuk Kementerian Ketenagakerjaan, dirinya meminta agar menjamin perlindungan kepada semua pekerja dalam menjalankan ajaran agama di tempat bekerja dimanapun juga dan di bidang apapun juga.
Kurniasih mengungkapkan, kasus pelarangan jilbab bagi karyawan sudah pernah terjadi sebelumnya. Bahkan salah satu karyawan sebuah jaringan bioskop melakukan aduan ke Komnas HAM karena dilarang menggunakan jilbab saat bekerja. Ada juga kasus pelarangan jilbab di sebuah maskapai bagi pekerjanya.
“Rumah Sakit dan Fasyankes bisa belajar dari kasus-kasus ini bahwa tidak relevan melarang karyawan berjilbab di tempat kerja. Justru rumah sakit dan Fasyankes bisa memberikan jaminan seluas-luasnya kepada semua karyawannya untuk bisa menunaikan ajaran agamanya masing-masing dengan baik. Kementerian Kesehatan juga kami minta mengawal ini,” pungkas Kurniasih. (dil)