Perpres 12 Tahun 2022 Dinilai Kontradiktif dengan Target Net Zero Emission 2060

Direktur-Eksekutif-Celios-Bhima-Yudhistira

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira (kedua dari kanan) pada konferensi pers di Jakarta, Selasa (4/10/2022). Foto: Istimewa

INDOPOS.CO.ID – Pada tanggal 13 September 2022 pemerintah merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Meski tujuan Perpres ini untuk percepatan energi terbarukan, namun isi dari Perpres justru menimbulkan berbagai persoalan yang kontradiktif dengan upaya menuju target net zero emission atau nol emisi karbon pada 2060.

Direktur Kajian Energi Terbarukan Center of Economic and Law Studies (Celios) Dzar Azhari mengatakan, Pasal 3 angka 4 Perpres 112 Tahun 2022 memberikan ruang bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) beroperasi sampai dengan tahun 2050 di kawasan industri, sangat kontradiktif dengan upaya mencapai transisi energi yang lebih bersih.

Padahal selama ini pemerintah mendorong industri yang lebih ramah lingkungan seperti ekosistem mobil listrik dan baterai, tapi sumber listrik untuk produksi masih bersumber dari batubara, jelas kurang konsisten.

Pertanyaan besar berikutnya dalam Perpres 112 Tahun 2022 ini adalah arah pengaturan yang ditetapkan.

“Perpres tersebut terkesan lebih mengatur soal investasi atas energi terbarukan di Indonesia. Buktinya Pasal 1 angka 5 yang menjelaskan tentang maksud dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada kenyataannya tidak ada satu pun dalam Pasal 2 Perpres ini yang menjelaskan capaian secara umum yang diharapkan atas bauran energi terbarukan; ukuran pengutamaan pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik energi terbarukan dan kemampuan masyarakat selaku konsumen listrik,” kata Direktur Kajian Hukum Celios, Zuhad Aji Firmantoro, pada konferensi pers di Jakarta, Selasa (4/10/2022).

Sejalan dengan apa yang diungkapkan Aji, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengindikasikan kehadiran Perpres 112 Tahun 2022 ditujukkan oleh pemerintah untuk mendapatkan pendanaan dari program transisi energi internasional.

“Ada kejanggalan dari regulasi transisi energi, apakah ini berkaitan dengan proses pencairan dana JETP (Just Energy Transition Partnership)? Misalnya, yang masuk dalam tahap negosiasi dengan pemerintah Indonesia. Jadi terkesan aturan ini seolah ingin menyenangkan donor JETP, tapi tetap memberi ruang bagi pembangkit PLTU batubara. Sungguh hal yang aneh,” tanya Bhima.

Dana JETP adalah sumber pendanaan yang diberikan oleh negara G7 untuk mempercepat transisi energi dari ketergantungan pembangkit batubara.

Sebelumnya Afrika Selatan menerima dana JETP sebesar USD8,5 miliar (setara Rp127,5 triliun) dan Indonesia merupakan kandidat potensial setelah Afrika Selatan.

Kehadiran Perpres juga berorientasi pada percepatan pengakhiran masa operasional PLTU dibandingkan tahapan bauran energi listrik yang memiliki road map secara jelas.

“Dalam Pasal 3 angka 6 bahkan terdapat frasa, dapat digantikan dengan pembangkit energi terbarukan dengan mempertimbangkan kondisi supply dan demand. Penggunaan kata ‘dapat’ memiliki arti tidak ada keharusan bagi pemerintah untuk menggunakan energi terbarukan sebagai pemenuh permintaan listrik,” ujar Dzar Azhari.

Pengakhiran waktu operasi dari PLTU sendiri dalam Perpres ini terkesan tidak konsisten. Pasal 3 angka 7 (f) menyatakan hal yang bertentangan dengan semangat tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU. Dalam Pasal 3 angka 7 (f) ini dijelaskan ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri menjadi kriteria untuk percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU batubara.

“Pemerintah dapat berkilah ketika target emisi gas rumah kaca 35 persen seperti tersebut dalam Pasal 3 angka 4 huruf b2 tidak tercapai, yang akan disalahkan adalah kurangnya pendanaan. Ini seperti pemerintah lepas tangan, padahal ada jalan keluar pembiayaan dengan demokratisasi energi di mana partisipasi aktif masyarakat dalam mendorong transisi energi di pedesaan misalnya bisa dimunculkan. Indonesia punya potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang besar dari mulai mikro-hidro, solar panel hingga gelombang air laut,” tambah Aji.

“Hal terakhir yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah, bahwa bersamaan dengan Perpres 112 Tahun 2022 ini juga sedang disusun Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Poin yang menjadi perhatian dari RUU EBT adalah dalam tahapan transisi yang belum rinci dan jelas. Selain itu baik Perpres 112 Tahun 2022 dan RUU EBT tidak memiliki peta jalan yang menimbulkan optimisme transisi energi bersih dapat tercapai dalam waktu singkat. Perlu perombakan secara total terhadap konsep transisi energi bersih,” tutup Dzar Azhari. (dam)

Exit mobile version