INDOPOS.CO.ID – Memasuki kontestasi pemilihan umum (pemilu) 2024 yang dimeriahkan oleh beragam janji perubahan seharusnya menjadi momentum untuk melahirkan gagasan alternatif atas permasalahan krisis iklim.
Visi dan misi pemimpin masa depan harus mampu menjawab isu krusial lingkungan yang sudah mengancam di depan mata.
“Komitmen aktor politik dalam agenda transisi energi sangat efektif dalam menekan dampak negatif perubahan lingkungan yang beririsan langsung dengan derajat ekonomi masyarakat,” kata Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi, Rabu (6/9/2023).
Dia mengatakan survei nasional yang diinisiasi oleh Celios dan UniTrend hadir untuk memetakan bagaimana krisis iklim dipersepsikan masyarakat, dinarasikan dalam komitmen bakal calon presiden (bacapres) 2024, hingga masif diperbincangkan pada jagat media massa.
Survei kuantitatif dengan teknik random sampling telah menjangkau 1.245 responden yang merepresentasikan berbagai wilayah di Indonesia pada kawasan perkotaan, pinggiran kota, hingga pedesaan.
“Survei mengungkapkan masyarakat hari ini cenderung rasional dalam mengkalkulasikan komitmen atas perlindungan lingkungan dan transisi energi sebagai indikator penilaian calon pemimpin masa depan,” ujarnya.
Peneliti energi terbarukan UniTrend, Rizki Ardinanta mengungkapkan indikator lingkungan telah menempatkan Anies Baswedan sebagai top of mind di antara pesaing lainnya karena vokal pada pemberitaan media massa dalam membincangkan gagasan kendaraan listrik dan emisi karbon.
Temuan survei memetakan Anies Baswedan memiliki kepekaan terhadap isu lingkungan tertinggi sebesar 32 persen dibandingkan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto yang masing-masing 23 persen dan 14 persen.
Temuan survei mengungkapkan 81 persen masyarakat Indonesia menyetujui kondisi hari ini sudah layak dideklarasikan sebagai darurat iklim sehingga kebijakan klasik yang cenderung normatif tidak akan menjadi solusi signifikan atas permasalahan krisis.
Wahyudi Askar menyebut urgensitas yang sudah sangat kritis dirasakan oleh masyarakat berbanding terbalik dengan kepercayaan publik terhadap kapasitas pemerintah dalam merumuskan kebijakan progresif pencegahan darurat iklim di Indonesia.
Ketidakpercayaan tersebut tergambar dalam temuan survei bahwa 60% masyarakat menilai kebijakan pemerintah saat ini belum mampu mengatasi krisis iklim.
“Di balik pengaruh variabel lingkungan yang signifikan bagi pemilih, intensitas pemberitaan mengenai isu lingkungan dan krisis iklim pada media massa masih sangat minor,” katanya.
Dalam kurun waktu 6 bulan (November 2022- Mei 2023), pemberitaan isu lingkungan di beberapa media massa populer yang disurvei hanya berjumlah 2.271 berita dari 304.398 berita secara keseluruhan sehingga proporsinya kurang dari 1 persen. Oleh karenanya, penting untuk mengoptimalkan peranan media dalam mendominasi saluran pemberitaan publik.
Rizki Ardinanta selaku peneliti Institute for Policy Development menekankan bahwa koalisi akademisi, media, NGO, dan masyarakat diperlukan untuk mengintensifkan kampanye publik hingga transisi energi berhasil dimenangkan.
Koalisi masyarakat sipil itu semakin terganjal dengan adanya segmentasi isu yang masih belum terjembatani antara masyarakat Jawa dan luar jawa serta kelas ekonomi yang berbeda.
Sementara itu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Bondan Andriyanu mengatakan sentimen negatif transisi energi dapat terlihat dalam perbincangan mengenai kendaraan listrik yang hanya didominasi konstituen di Pulau Jawa dengan infrastruktur dan potensi geografis lebih memadai daripada pulau lainnya.
Oleh karenanya, perhatian publik atas isu lingkungan harus variatif dan komprehensif sehingga capres tidak bisa lagi hanya vokal dalam topik kendaraan listrik tetapi mengesampingkan topik deforestasi dan ekonomi sampah sirkular.
Pada akhirnya, keberpihakan pada segala upaya transisi energi berkeadilan merupakan prasyarat yang wajib dimiliki oleh pemimpin masa depan Indonesia.
“Rekomendasi ke depan perlu mengarusutamakan isu lingkungan pada serangkaian momentum politik terutama pemilu 2024, mengupayakan alternatif skema pembiayaan proyek secara kreatif dengan prinsip kehati-hatian, dan merevisi segara turunan regulasi yang kontraproduktif dengan spirit transisi energi,” jelas Bondan.(dam)